0
     Pada zaman dahulu ketika Kesultanan Demak menguasai Pulau Jawa, Kota Semarang telah menjadi kota pelabuhan yang sangat ramai di bawah kepemimpinan Adipati Ki Ageng Pandanaran. Sang Adipati terkenal sebagai pemimpin yang berwibawa tetapi memiliki tabiat buruk yaitu suka menumpuk harta benda dari rakyatnya.
        Ki Ageng Pandanaran tak segan untuk menagih pajak kepada rakyat miskin bahkan dengan cara kekerasan seperti yang terjadi pada sore itu ketika dia menagih pajak kepada rakyatnya yang telah menunggak selama beberapa bulan
’’Tunggakan pajakmu sudah bertumpuk, kerbaumu ini terpaksa kami sita,’’ kata Ki Ageng Pandanaran sambil dikawal pengawal yang selalu membawa tombak.
‘‘Jangan Gusti, tolonglah saya kerbau ini satu-satunya milik saya!’’ jawab seorang rakyat jelata dengan rasa takut.
“Pengawal cepat seret kerbaunya” Perintah adipati kepada pengawal
“Siap adipati” jawab pengawal. Dengan cepat dua orang pengawal menarik kerbau meskipun petani miskin itu terus meminta agar kerbaunya tidak dibawa.

                                                             ***      

        Meskipun hartanya sudah berlimpah namun Ki Pandanaran masih suka keluar masuk pasar untuk berdagang dia membeli barang dengan harga yang murah dan menjualnya kembali dengan harga yang mahal. Dengan demikian semakin bertambah pula harta kekayaannya.
Suatu hari Ki ageng Pandanaran berjalan sendiri ke pasar, di sudut pasar dia melihat orang tua yang menggunakan baju kusam dan ikat kepala berwarna hitam sedang menjual Rumput , pria tersebut duduk diatas 2 ikat besar rumput hijau Ki Ageng Pandanaran teringat akan Kuda Kudanya yang belum diberi makan.



“Berapa Ini pak?” Tanya Ki Ageng Pandanaran sambil memegang 2 ikat rumput yang diduduki pak tua tersebut.
“ Dua puluh lima sen Tuan,” Jawab Pak Tua.
“Apakah tidak bisa kurang, Pak?” tanya Ki Ageng Pandanaran meskipun dia tahu harga tersebut sudah sangat murah.
“Maaf Tuan harganya sudah murah dibandingkan penjual yang lain,” Jawab Pak Tua penjual rumput.
“Ya sudah aku ambil semua ya Pak tapi tolong sekalian dibawa ke rumahku!” kata Ki Ageng Pandanaran.
“Baik Tuan,” balas Pak Tua sambil segera mengangkat kedua rumput.
Setelah membayar penjual rumput tersebut Ki Ageng Pandanaran segera melangkahkan kaki menuju rumahnya diikuti penjual rumput dari belakang, jarak rumah adipati dengan pasar tidak terlalu jauh. Setelah sampai di rumah Ki Ageng Pandanaran merasa 2 ikat rumput saja tidak cukup jadi dia memesan lagi 2 ikat.
“Pak besok tolong 2 ikat lagi diantar ke rumah ya pak!” perintah Ki Ageng Pandanaran.
“Baik Tuan,” Jawab Pak Tua.
      Setelah berpamitan Pak Tua penjual rumput itu pun pergi. Ki Ageng Pandanaran segera menyuruh pengawalnya agar membuka ikatan rumput dan memberi makan pada kuda kuda miliknya. Namun, betapa kaget para pengawal ketika ikatan rumput dibuka ditemukan uang dua puluh lima sen di dalam tumpukan rumput tersebut.
“Tuan saya menemukan uang dua puluh lima sen di dalam rumputnya” lapor pengawal kepada Ki Ageng Pandanaran.
“Bawa ke sini uangnya pengawal, mungkin dia lupa menaruh” kata Ki Ageng Pandanaran. Pengawal Ki Ageng Pandanaran memberikan uang yang ditemukan dalam rumput tersebut kepada tuannya. Meskipun Ki Ageng Pandanaran sudah mengetahui uang tersebut milik Pak Tua penjual rumput namun karena sifat serakah dan cinta uang sehingga dia menyimpan uang yang di temukan
“Hari ini keberuntunganku, aku membeli rumput tapi tak perlu membayar,” katanya dalam hati.

                                                                    ***
         Hari berikutnya Ki Ageng Pandanaran bangun lebih pagi, setelah sarapan dia duduk di pelataran rumah sambil mendengarkan burung yang berkicau di sekitar rumahnya. Sungguh kaget sekali sang adipati saat penjual rumput telah datang pagi itu. Dengan memikul dua ikat besar rumput pak tua tersebut memasuki pelataran rumah Ki Ageng Pandanaran
“Selamat pagi Tuan,” sapa penjual rumput tersebut sambil meletakkan rumput yang di panggulnya
“Selamat pagi juga Pak,” jawab Ki Ageng Pandanaran
Karena merasa penasaran maka Ki ageng Pandanaran mengajak penjual rumput tersebut untuk bercakap cakap dengannya.
“Mari Bapak duduk di sini dulu, ada yang  ingin kutanyakan,” kata  Ki Ageng Pandanaran lagi.
“Terimakasih Tuan,” jawab penjual rumput sambil melepaskan ikat kepala untuk  mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya.
“Bapak ini rumahnya mana pak?” tanya Ki Ageng Pandanaran
“Rumah saya di Gunung Jabalkat, Pak,” jawab pak tua penjual rumput.
“Wah jauh sekali pak, bapak tinggalnya sekitar sini pak?” tanya Ki Ageng Pandanaran
“Tidak pak,saya berangkat dari rumah pagi sekali dan pulang pada malam hari”
     Ki Ageng Pandanaran terdiam sebentar, dia merasa kaget sekaligus kagum, seorang tua yang berjalan kaki dari Jabalkat setiap pagi dan pulang setiap malam hanya untuk mendapatkan uang dua puluh lima sen, bahkan kemarin dia tidak mendapatkan penghasilan karena uangnya tertinggal di dalam rumput. Meskipun merasa kasihan namun hati Ki Ageng Pandanaran tidak tergerak sedikit pun untuk mengembalikan uang yang dia temukan kemarin. Hari ini dia hanya membayar untuk 2 ikat rumput yang diantarkan olah pak tua tersebut.
“Terimakasih Tuan,” kata Penjual rumput tersebut.
“Sama-sama Bapak, tolong besok bawa lagi 2 ikat ya,” perintah Adipati kepada penjual rumput.
“Baik Pak akan saya bawakan besok pagi,” jawab penjual rumput kemudian berpamitan untuk pulang
      Ternyata kejadian yang sama seperti hari sebelumnya terulang lagi, uang dua puluh lima sen ditemukan di dalam ikatan rumput tersebut dan adipati sama sekali tidak mengatakan apa pun kepada Pak Tua penjual rumput tersebut, dia tetap menyimpan uang dua puluh lima sen yang ditemukan meskipun tahu itu bukan hak miliknya.

                                                                   ***
      Pada hari yang ketiga penjual rumput terlihat sangat lelah, setelah rumput ditaruh dia meminta berbicara dengan Adipati.
“Tuan apakah tuan sudi untuk menaikan harga rumput ini?’tanya penjual rumput. Ki Ageng Pandanaran mulai menunjukan wajah marah ketika penjual rumput tersebut meminta tambahan uang, dan tanpa berkata sepatah katapun dia mengambil uang dan melemparkan koin 1 sen pada penjual rumput. Uang tersebut jatuh di lantai dengan suara nyaring. Tak diduga penjual rumput menolak uang yang diberikan Ki Ageng Pandanaran.
“Maaf Tuan saya tidak akan menerima uang yang diberikan dengan tidak sopan,” kata penjual rumput.
“Hahh, aku tak perlu memberikan uang sambil bersujud Pak Tua, sudah ambil uang itu dan pergi dari sini!” bentak adipati dengan arogannya.
“Saya bukan orang yang gila uang tuan,” jawab penjual rumput
“Harta bagi saya sama halnya seperti tanah, air batu, saya bisa mendapatkan berkilo emas dengan sekali cangkul,” jawab penjual rumput dengan wajahnya yang polos.
“Ha ha ha ha” Ki Ageng Pandanaran tertawa seperti menghina.
“Bagaimana mungkin emas dapat diambil dengan mencangkul? Tidak masuk akal orang tua,” Kata Ki Ageng Pandanaran lagi.
“Apa Tuan mau bukti?” tantang penjual rumput.
“Buktikan! Kalau kamu bisa membuktikan omonganmu aku akan menjadi muridmu orang tua,” Ki Ageng Pandanaran menantang balik penjual Rumput tersebut.
“Baiklah, bisakah saya meminjam cangkulnya, Tuan?” kata penjual rumput. Ki Ageng Pandanaran segera menyuruh pelayannya untuk mengambil cangkul dari belakang rumahnya.
Setelah mendapatkan cangkulnya Pak tua penjual rumput pun segera ke depan rumah Ki Ageng Pangandaran untuk mencangkul sebidang tanah lapang disitu
 “Prak” cangkul seperti menghantam benda yang keras. Dan di dalamnya terdapat emas berkilau. Ki Ageng Pandanaran yang melihat hal tersebut kaget dia mulai gemetar dan berkeringat dingin, dia mulai sadar bahwa penjual rumput tersebut bukanlah orang biasa.dan ternyata benar saja penjual rumput tersebut berubah menjadi Sunan Kalijaga sang penasehat Kerajaan Demak penguasa tanah Jawa. Saat itu juga Ki Ageng Pandanaran bersujud dan menyembah
“Maafkan saya Yang Mulia Sunan, saya mohon ampun telah berbuat tidak benar pada Tuan,” sambil terus bersujud dan meminta maaf pada Sunan Kalijaga.
“Wahai engkau Ki Ageng Pandanaran, apakah kamu tahu kesalahanmu?” tanya Sunan Kalijaga
“Saya sadar Tuan Sunan, saya menumpuk harta dan berbuat tidak benar dengan menyimpan uang yang bukan milik hamba,” jawab Ki Ageng Pandanaran.
“Apakah kau akan mengulangi perbuatanmu?”tanya Sunan Kalijaga
“Tidak Tuan Sunan, saya menyadari saya salah dan tidak akan mengulanginya lagi, saya berjanji Tuan Sunan” kata Ki Ageng Pandanaran dengan bersujud.
“Ki Ageng Pandanaran aku lega kau telah menyadari bahwa kau salah dan meminta ampunan atas perbuatanmu yang kurang sesuai,” kata Sunan Kalijaga.
 “Hamba sangat berterimakasih atas ampunan Tuan Sunan, apakah hamba boleh menjadi murid tuan dan mengikuti ke mana Tuan Sunan pergi?” tanya Ki Ageng Pandanaran.
“Jika Itu keinginanmu ikutlah denganku ke Gunung Jabalkat,tapi harus kamu ingat kamu tidak boleh membawa bekal harta apa pun kecuali baju dan kebutuhan makanan,” kata Sunan Kalijaga memberi syarat.
“Saya bersedia Tuan Sunan,” kata Ki Ageng Pandanaran menyanggupinya.
Setelah menyampaikan beberapa nasehat kepada Ki Ageng Pandanaran, Sunan Kalijaga menghilang
                                                 
                                                                            ***

     Ki Ageng Pandanaran berlari mencari istrinya Nyi Pandanaran, dengan panik ia menceritakan pengalaman yang baru saja dia alami dan berpamitan untuk mengikuti Sunan Kalijaga ke Gunung Jabalkat. Ternyata istri Ki Ageng Pandanaran tidak mau ditinggal di Kadipaten, ia ingin ikut suaminya pergi ke Gunung Jabalkat.Meski dicegah dengan berbagai cara tetapi tetap saja dia berkeras hati.
“Suamiku ajaklah aku bersama denganmu!” Pinta Nyi Pandanaran dengan merajuk.
“Istriku perjalanan ini akan sangat jauh. Cukuplah kamu di sini dulu, setelah selesai aku berguru pada Sunan Kalijaga aku akan kembali” Kata Ki Ageng Pandanaran menjelaskan pada istrinya.
“Suamiku, sudah menjadi janji dan kewajibanku untuk mengikutimu kemanapun engkau pergi,” kata Nyi Pandanaran.
“Baiklah istriku engkau boleh mengikutiku namun Yang Mulia Sunan telah berpesan agar kita tidak membawa bekal harta apa pun selama perjalanan” Kata Ki Ageng Pandanaran menyampaikan amanat dari Sunan Kalijaga. Meski dengan ragu ragu Nyi Pandanaran menyanggupinya tetapi sebagai seorang wanita dia tidak berani ambil resiko bepergian tanpa membawa bekal apa pun. Maka dari itu diam diam dia mengisi tongkat bambu gading miliknya dengan emas dan permata maksudnya untuk berjaga jaga bila dibutuhkan kemudian hari. Ketika tahu istrinya nekat membawa emas permata Ki Ageng Pandanaran menjadi kesal karena sang istri masih merasa berat dengan harta bendanya.

                                                            ***
      Selama Perjalanan Ki Ageng Pandanaran berjalan terlebih dahulu di depan dan membiarkan sang istri menyusul di belakang. Ki Ageng Pandanaran berjalan dan terus berjalan tanpa kenal lelah, setelah melewati dataran tinggi Gombel dia merasakan hawa yang sangat sejuk dingin dengan angin yang semilir Sebagai peringatan ia menamakan daerah itu dengan ngesrep alias daerah yang sejuk dingin.
Setelah itu Ki Ageng Pandanaran melanjutkan perjalanan lagi ke arah selatan, beberapa jam kemudian dia melihat banyak pohon yang tumbuh dan berbuah lebat di tepi jalan dan berbuah sangat banyak
“Sepertinya ini buah yang segar, aku akan mencicipinya” kata Ki Ageng Pandanaran dalam hati. Seorang petani yang berada di dekat situ mencoba melarang ki Ageng Pandanaran
“Jangan dimakan Tuan, Buah Pohon Lo ini sangat Pahit,” katanya.
Ki Ageng Pandanaran masih belum percaya sehingga dia tetap memakan buah tersebut alangkah kagetnya ternyata buah itu sangat pahit dia pun meludahkan isi buah yang dimakannya.
“Benar sekali ternyata buah ini sangat pahit, aku akan menamakan daerah ini sebagai LoPait,” kata Ki Ageng Pandanaran kepada petani tersebut. Tempat ini sekarang dinamakan Lopait dan menjadi kota yang ramai.
     Ki Ageng Pandanaran berjalan sendirian dan sangat cepat karena tidak membawa beban yang berat, berbeda dengan istrinya yang harus membawa bambu berisi emas permata yang cukup berat. Selama perjalanan itu Ki Ageng Pandanaran telah berhenti beberapa kali, setiap tempat pemberhentian dia selalu memberi nama tempat sebagai peringatan.
Pada pemberhentian yang kesembilan Ki Ageng Pandanaran berhenti di sebuah mata air, dia berkata “Tempat ini adalah pemberhentianku yang ke Sembilan, aku akan menamakan ini Kesongo”
Tak Jauh dari Kesongo ada dua orang perampok yang sangat terkenal akan kekejamannya, semua yang melewati wilayah itu akan dirampok dan dilukai bila melawan, berita tentang perjalanan Ki Ageng Pandanaran menuju Jabalkat membuat para perampok tersebut berencana untuk menyergap Ki Ageng Pandanaran dan merampoknya
“Itu dia berjalan  sendirian,” kata salah satu perampok kepada temannya sambil menunjuk kearah sesosok laki laki yang tak lain adalah Ki Ageng Pandanaran.
      Dengan Beringas kedua perampok tersebut melompat dan menghadang, diacungkannya golok ke arah Ki Ageng Pandanaran. Tidak terlihat rasa takut sedikit pun pada wajah Ki Ageng Pandanaran. Baginya masih cukup mudah melumpuhkan kedua perampok tersebut.
“Apa yang kalian inginkan,” tanya Ki Ageng Pandanaran
“Ha ha ha wahai kamu orang yang kaya raya, berikanlah hartamu dan kamu akan selamat,” ancam kedua penjahat dengan masih mengacungkan golok
“Aku tidak membawa harta apapun kecuali baju ini saja,” jawab Ki Ageng Pandanaran dengan tenang. Perampok tersebut tidak percaya begitu saja, mereka menggeledah Ki Ageng Pandanaran namun memang tak menemukan harta satu sen pun.
“Bagaimana mungkin kau tak membawa uang sesen pun?” tanya perampok dengan rasa heran
“Wahai saudara saudaraku aku memang tak membawa sepeser pun bekal harta benda,  namun bila kalian ingin mendapatkan emas tunggulah di sini sebentar lagi istriku akan lewat dan dia membawa emas cukup banyak dalam tongkat bambu Gading, ambilah emas tersebut, tetapi biarkan dia pergi. Emas itu cukup untuk menjamin hidupmu sampai kau tua, Tapi ingat jangan apa apakan istriku. Biarkan dia menyusulku!” Kata Ki Ageng Pandanaran
“Awas kalau kamu membohongi kami,” kata salah satu perampok yang tampak beringas.
“Percayalah. Tunggu saja disini sampai istriku lewat,” jawab Ki Ageng Pandanaran.
“Baiklah kalau begitu,” sahut perampok yang lain.
Ki Ageng Pandanaran dilepaskan oleh kedua perampok tersebut dan melanjutkan perjalanannya, sementara itu kedua perampok menunggu Nyi Pandanaran yang dikatakan oleh Ki Ageng Pandanaran membawa harta benda. Tidak lama Kemudian Nyi Pandanaran benar lewat di sana, begitu sosok wanita yang kaya raya itu terlihat maka kedua perampok tersebut segera menghadangnya. Tanpa ada perlawanan sedikit pun keduanya berhasil mengambil emas yang dibawa oleh Nyi Pandanaran.
“Bawa kemari hartamu?” Ancam perampok
“Saya Tidak membawa harta sepeser pun,” kata Nyi Pandanaran dengan gemetar dan rasa takut. Kedua perampok melihat tongkat bambu yang dibawa Nyi Pandanaran, seperti yang dikatakan oleh Ki Ageng Pandanaran sebelumnya bahwa didalamnya terdapat emas permata. Segera di rebut tongkat bambu itu dan diambillah emas permata yang dibawa Nyi Pandanaran. Tetapi dasar orang-orang jahat meski sudah mendapatkan emas cukup banyak mereka merasa belum puas, rupanya mereka mencoba mengganggu Nyi Pandanaran juga. Nyi Pandanaran mencoba memberi tahu tetapi kedua Perampok itu nekat sehingga membuat Nyi Pandanaran naik pitam
“Manusia kok mbregudul(Tidak bisa dikasih tahu),” hardik Nyi Pandanaran
“Kalian itu seperti binatang saja!” sambungnya. Aneh bin ajaib, ketika itu juga kepala kedua penjahat berubah menjadi binatang. Perampok yang satu menjadi berkepala kambing dan yang lain berkepala Ular. Bukan hanya perampok yang kaget namun Nyi Pandanaran juga takjub dan merasa takut. Kedua perampok yang wajahnya berubah menjadi kambing dan ular tersebut minta ampun kepada Nyi Pandanaran dan memohon agar wajah mereka kembali seperti semula
“Ampuni kami Nyi, kami berbuat jahat dan tidak menepati janji,” mohon kedua perampok tersebut dengan bersujud. Tetapi Nyi Pandanaran tidak bisa berbuat apa apa karena dia sendiri tidak tahu bagaimana hal tersebut bisa terjadi.  Akhirnya dia mengajak kedua Perampok tersebut untuk menyusul Ki Ageng Pandanaran.
      Sementara itu Ki Ageng Pandanaran sudah sangat jauh berjalan, sampailah dia di sebuah sungai. Di sungai itu dia berhenti sejenak untuk membasuh kaki dan tangannya, namun saat hendak membasuh tangannya, dia melihat banyak sekali cacing di pinggir sungai tersebut, tiba tiba dia teringat kepada istrinya yang sangat takut akan cacing.
“Sungguh kasihan istriku harus tertinggal di belakang dan akan bertemu dengan perampok tadi, sebaiknya aku kembali ke belakang” kata Ki Ageng Pandanaran dalam hati. Dia merasa khawatir dengan istrinya dan memutuskan untuk kembali menjemput istrinya yang masih tertinggal. Sebelum pergi dia menamakan daerah tersebut dengan Kalicacing( dalam bahasa Jawa Kali artinya sungai) Jadi artinya Sungai yang berisi banyak cacing.
      Setelah bertemu dengan istrinya, alangkah terkejutnya Ki Pandanaran ketika menjumpai sang istri didampingi dua manusia berkepala binatang. Dengan gemetar Nyi Pandanaran bercerita tentang pengalaman yang dialaminya. Mendengar cerita dari istrinya Ki Ageng Pandanaran diam sejenak, dia tidak langsung memberi jawaban, dia memejamkan mata dan berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan.
“Ini salah tiga orang” kata Ki Ageng Pandanaran kepada istrinya
Istrinya dan perampok itu hanya terdiam dan mendengarkan apa yang dikatakan Ki Ageng Pandanaran
“Istriku kamu salah karena nekat membawa perhiasan meskipun aku larang, kedua perampok ini juga salah karena ingkar janji, mereka berjanji akan membiarkanmu pergi setelah mendapat perhiasan tetapi ternyata mereka ingkar janji. Jadi ini benar benar salah tiga orang” Kata Ki Ageng Pandanaran lagi
     Sebagai peringatan atas peristiwa tersebut maka tempat itu dinamakan Solotigo atau Salatiga. Secara kebetulan di dekat tempat percakapan tersebut terdapat Selo(Batu) raksasa yang berjumlah tiga buah.yang bila digabungkan akan menjadi Selotigo. Seiring berjalannya waktu nama Selotigo menjadi Salatiga.


                                                             ***
SUMBER BACAAN

Asril Reza, Marina,2013 : 88 Cerita terbaik asal usul nama daerah. Jagakarsa, Visimedia Pustaka Jakarta Halaman 137-139 asal usul nama Salatiga.

Cerita secara lisan dari beberapa tokoh masyarakat Salatiga. dan dari imajenasi Penulis.

Posting Komentar

 
Top