6
“Pyar…” suara lemparan piring terdengar keras. Arman marah tingkat akut karena tidak ada lauk-pauk kesukaannya.
“Di rumah seharian kok tidak becus memasak, apa saja yang kau kerjakan selama ini, kak? Hanya merepotkan orang tua saja!”
“Door…!” tendangan ala Si Madun persis mengenai bibir  pintu. Untung saja engsel  yang sudah udzur dimakan usia tak lepas. Fauziah hanya dapat mengelus dada.
“Krompyang!” kali ini wajan menjadi sasaran. Kelu menyaksikan peristiwa demikian. Lalu, adiknya ngeloyor, meninggalkan pecahan piring dan tumpahan wajan yang beraneka ragam bentuk dan warnanya serta luka yang mendalam di hati kakaknya.
 Fauziah dan suaminya membisu. Mereka tidak mungkin mendekati adiknya saat itu. Fauziah seorang ibu muda berkulit putih dan berbadan tambun merasa sedih. Dia dan suaminya merasa tertekan dengan keadaan ekonominya yang serba susah saat itu. Mereka masih menumpang di rumah orang tuanya dengan kedua anaknya. Dan otomatis keseharian bersama-sama dengan kelima adiknya yang berbeda karakter.
Dia  masih ingat betul ocehan adik laki-lakinya,  mengeluarkan kata-kata kasar nan pedas bak lombok setan. Ia mengungkit-ungkit kakaknya yang tidak mandiri. Walau benar, namun terasa sakit menusuk-nusuk sampai ke relung jiwa.
“Apa yang dapat kita lakukan, Bu? kelihatannya kita tidak bisa tinggal disini lagi. Kasihan Bapak Ibu pontang-panting mencari biaya adik-adik.” Suami Fauziah yang seorang santri nan alim dan berwajah ganteng memulai mengungkapkan perasaannya.
“Ya, Pak, saya juga merasa tidak nyaman tinggal di sini yang terus-menerus merepotkan Ibu Bapak kita. Bahkan mereka menjadi donatur tetap keluarga kita. Biaya rawap inap si Ahmad kemarin banyak, kebutuhan  berjibun, semua sudah dilunasinya,  ini menjadi sebab kecemburuan adik kita.”
 “Sebagai suami saya juga merasa hina, Bu. Saya belum mampu membelikan baju yang bagus, make up, sandal, tas, perhiasan, mengajak jalan-jalan dan apalagi untuk membelikan mainan untuk anak-anak kita, Ayah macam apa aku ini!” 
“Sudahlah, Ibu menerima bapak apa adanya. Yang penting sudah ikhtiar.” Fauziah menggenggam erat tangan suaminya, menguatkan dinding hatinya yang  rapuh.
 “Saya bisa sedikit mengaji, namun kemampuanku itu kurang dapat berkembang, sebab hampir semua penduduk sudah pandai mengaji.” Keduanya menatap dinding kamarnya untuk mencari jawab.
***
Sudah sebulan keluarga Fauziah menempati rumah kakeknya di lain kecamatan. Berbagi dinding  dengan penjual dawet tak apalah, mungkin di tempat ini keadaan akan membaik. Namun kenyataannya, masalah masih saja menemani hari-harinya. Pasalnya, salah satu tetangga terdekatnya yang kaya raya sering unjuk materi di depan keluarganya. Itulah yang membuat kedua anaknya terusik dan sering menangis. Sungguh berbanding terbalik kehidupannya. Suami Fauziah hanya seorang ustadz ngaji di musholla dan  kadang-kadang menjadi tenaga serabutan. Jangankan membeli buah atau mainan, beras saja, masih dijatah oleh kakaknya yang seorang pegawai. Keadaannya betul-betul sulit bagai dapur tanpa asap. 
“Mengapa anakku harus merasakan kegetiran hidup seperti ini?
“Sabar, Bu, semoga semuanya cepat berlalu.” Suami Fauziah selalu bisa mengajarkan istrinya untuk terus bersabar atas semua ujian Allah.
“Maafkan, Ibu, Nak. Ibu belum bisa membelikanmu es krim. Ibu janji suatu saat kalau ada rejeki, Ibu pasti membelikanmu,” Fauziah bicara sendiri.
 Teringat tadi siang, si Ahmad dan adiknya bergantian mengambil  bekas es krim tetangganya dan berkali-kali menghisapnya penuh sensasi. Apalagi baru saja kedua anaknya juga mengambil kulit jeruk yang dibuang orang lewat, menghisap baunya dalam-dalam. Hatinya jadi teriris-iris.
“Ya sudahlah, Bu, semoga anak-anak tetap sehat. Khusnudhon saja.
“Belum lagi tadi si Rara menangis terus minta dibelikan boneka Barby. Ia ingin menggendong boneka, sebagai teman mainnya.”  Fauziah menambahkan.
 “Bapak akan berusaha mencari pekerjaan halal, semoga besok rejeki kita bertambah” dan di iyakan istrinya.
***
 Malam Minggu tiba, itu artinya akan ada suara keras khas bapak-bapak yang bermain badminton di lapangan sebelah. Rumah yang ditempati Fauziah memang berhimpitan langsung dengan lapangan, hanya 3 meter saja, nyaris menyatu. Kelihatannya bapak-bapak antusias dan enjoy sekali dengan gurauan, teriakan dan tepuk tangan meriah sepanjang permainan yang berlangsung hingga midnight Di penghujung malam, suara-suara tadi melemah, menjauh dan kini sepi mencekam. Hanya ada bekas-bekas minuman  air mineral, sisa makanan dan puntung rontok plus abunya yang berserakan tiada tertata kemana-mana.
 “Akankah aku berdiam diri dengan kondisi sekarang? Menjadi bahan tontotan, tertawaan dan olok-olokan para warga. Aku ingin mengubah nasib,” Fauziah bicara dengan  semangat membara. Atas persetujuan suami dan segala macam pertimbangan, akhirnya Fauziah berketetapan pergi ke Saudi Arabia sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Pertama kali Fauziah berangkat pada tahun 1984 silam. Tekadnya sudah bulat demi masa depan anak-anaknya kelak.
“Maafkan Ibu, Nak.  Ibu terpaksa harus berpisah dengan kalian berdua dan juga ayahmu. Ibu tidak ingin kau menderita kelak di kemudian hari. Walau berat hati tidak melihat dan mendampingimu, dalam masa-masa tumbuh kembangmu. Namun yakinlah doa-doa ibu akan selalu mengalir untuk keluarga kita tercinta.”
Fauziah menangis dan bicara sendiri sambil memeluk kedua buah hatinya yang tengah tertidur pulas, lelap nyaris tanpa dosa. Menciuminya dengan sepenuh  hati dan kasih sayang. Kini, air matanya berlinang beranak sungai, mengingat besok adalah hari keberangkatannya di Saudi sebagai Tenaga kerja Wanita (TKW). 
***
Panas terik membakar Bandara King Abdul Aziz. Fauziah merasa seperti orang asing. Tanpa saudara, suami dan anak-anak serta orang-orang yang dikenalnya, ia bagai hidup sebatang kara di dunia yang keras dan luas ini.
“Harus bagaimana aku sekarang? Di negeri orang, jauh dari keluarga sementara orang yang menjemputku tidak kunjung datang.” Kecemasan demi kecemasan bergelayut di hatinya. Belum-belum rasa rindu pada si buah hati dan kemauan untuk mengubah nasib sudah menyiksanya. Kini, dia linglung dan limbung.
Dia berdiri  di pojok sebuah ruangan, termenung demi menanti seseorang. Sebentar menengok ke samping kanan, kiri, depan dan belakang. Menunggu, memang pekerjaan yang paling menjemukan. Satu jam, dua jam, tiga jam, genap dua puluh empat  jam dia menunggu.
Sampai  satu setengah hari, ternyata orang yang dinanti belum nongol juga. Rasa jenuh, haus, lapar dan takut mulai menyerangnya.  Dia merasakan perutnya keroncongan. Wajahnya  yang putih bersih mulai memucat dan tubuh  gemetaran, keringat dinginnya membasahi tubuhnya, matanya meredup dan berkunang-kunang, semuanya menjadi remang-remang. Fauziah masih setia menunggu seorang majikan, yang sekelebat  bayangan seperti apa majikannya saja belum ada di benaknya. Dalam keterbatasan dan keputusasaan, dia tetap berdoa lirih memohon pertolongan.
Duh Gusti, berikan kekuatan dan pertolongan-Mu padaku. Hanya Engkau Dzat yang mampu memberi jalan keluar terbaik kepadaku.” Doanya terus saja mengalir lirih sambil memegangi perutnya yang kembang kempis bak puasa Senin-Kamis. Dia roboh.
Diantara rasa putus asa dan takutnya, tiba-tiba ada seorang ibu muda datang. Mungkin dia merasa iba melihatnya yang nampak pucat pasi seperti mayat hidup. Dia menghampirinya dengan penuh kelembutan. Fauziah yakin bahwa dia adalah malaikat yang diutus Allah untuk memberinya pertolongan. Dia datang tepat, disaat dia sedang sekarat. Sentuhan-sentuhan ajaibnya mampu memberikan energi positif. Ia basuh pelipisnya dengan tisu lembut, selembut sutera sambil bicara bahasa Arab, Mungkin, berisi doa-doa untuk membuatnya sehat. Dalam diamnya, Fauziah merasakan semua kebaikan, sentuhan dan ketulusan hatinya.
Alhamdulillah… semua ini berkat pertolongan-Mu, Ya Allah batinnya penuh rasa syukur yang tiada tara. Malaikat itu terus memberikan sentuhan istimewanya.
Pelahan-lahan Ukhti itu memberikan  olesan minyak di tengkuk serta di dada dan punggung Fauziah. Lalu, membuka tas hitamnya. Satu demi satu kurma  disuapkan di mulut Fauziah dengan penuh kasih, dia juga memberikan sebuah botol air mineral.
 “Alhamdulillah, syukron katsir ya, Ukhti?”  Hanya itu yang dapat Fauziah ucapkan  saat itu.
“Naam, naam.” Sang Ukhti menjawab dengan anggukan yang tulus sambil memberi olesan minyak. Kini, matanya mulai jelas memandang orang yang ada di sekelilingnya. Sungguh mujarab sekali kurma dan air mineral ini, akunya.
“Min aina anti, ya Ukhti?”
“Indonesia”, Fauziah menjawab pertanyaannya dengan malu tapi senang. Si Ukhti mengajaknya berbincang-bincang. Namun sayang, Fauziah belum begitu mahir melafalkan kata-kata Arab. Maklum, ini baru kedatangannya yang pertama kali.
Si Ukhti memberikan kartu nama pada Fauziah. Sebuah nama tercetak jelas disana, Jamilaa, seorang yang baik hati telah menolongnya. Nama nan cantik.
 “Ila liqa ma’a assalamah, Assalamualaikum” itu kata-kata terakhir yang meluncur dari Ukhti tersebut.
Waalaikum salam Wr Wb…” Fauziah menjawabnya seraya memandangi kepergiannya. Sepuluh menit kemudian, sang majikan sudah ada di depan mata untuk membawa Fauziah ke rumahnya.
 “Hal anti Fauziah min Indonesia?”
“Naam-naam, Sayyid, ana Fauziah min Indonesia”
“Tafadhal udkhul!” sambil membukakan pintu mobilnya dia mempersilahkan Fauziah masuk. Fauziah  duduk  membisu sambil memegangi tas pakaiannya. Di mobil, dia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Untuk memenangkan dirinya, dia melafalkan kalimat toyyibah.
***
Hari pertama bekerja di negara manca sungguh mengagetkan. Kehidupannya di desa sungguh bertolak belakang dengan di sana. Dari bangunan rumah, alat makan, kebiasaan makan, menu makan, jam kerja serta adat kebiasaan lainnya. Oh ya, pakaian harian juga berbeda. Kini, Fauziah membalut tubuhnya dengan gamis dan jilbab hitam.
Rumah sang majikan terdiri dari tiga tingkat, dengan anggota keluarga berjumlah  sepuluh orang. Pak Abdullah memiliki delapan orang anak, empat laki-laki dan empat perempuan. Ditambah dua pembantu berarti menjadi dua belas orang. Masing-masing anak memiliki ruangan tersendiri kecuali si bungsu yang baru berumur empat tahun. Dia masih tidur sekamar dengan ayah bundanya.
Assalamualaikum, Fauziah”
Waalaikum salam, Mbak siapa?”
“Saya Sofia, panggil saya Sofi, asli Garut” nyes, ada setitik embun yang menyejukkan hatinya. “Saya sudah di sini sejak sepuluh bulan yang lalu,  gini mbak, kita ada pembagian tugas bekerja, agar semua  beres dan terasa lebih enteng” Sofia berkata-kata pada teman barunya. Sedang Fauziah menganggukkan kepalanya.
 “Pekerjaan di sini apa saja mbak?” tanyanya.
“Ya banyak tow, memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, bersih-bersih, belanja, mengasuh anak dan sebagainya, yang jelas semua perabot harus terjaga kebersihannya tanpa terkecuali” jawab Sofi dengan tegas.
” O ya, makasih Mbak” begitulah tugasnya di sini sehari-hari yang harus dijalani.
***
Fauziah menyeka keringat yang masih tersisa di kening atasnya. Dia baru saja selesai mengepel semua ruangan yang ada, tiba-tiba ada panggilan dari sang nyonya memintanya menyetrika pakaian. Tidak disangka, betapa banyak jumlah pakaian yang harus diselesaikannya. Nampak seperti gunung Merbabu saja, entah sampai berapa jam selesainya, hatinya berkata, ini  pertama kalinya menyetrika terbanyak sepanjang sejarah. Baru saja selesai menyetrika, Si nyonya kembali menyuruhnya membersihkan semua furniture yang ada di tingkat tiga.
 “Makan dulu mbak, nanti sakit lho” tiba-tiba Sofia mengingatkannya untuk makan bersamanya. Memang dia sudah menahannya dari tadi. Belum juga menyelesaikan makan bersama teman kerjanya, ada panggilan dari sang majikan dari ruang sebelah.
“Fauziah…, Fauziah…!” seraya mendekatinya, sang nyonya sudah membawa puluhan seprei di tangannya. Dihamburkannya seprei tadi di lantai dekat Fauziah duduk. Fauziah tahu, bahwa ia memintanya untuk mencucinya.
“Ya Allah, apa nyonya tidak tahu bahwa saya seharian baru makan, belum istirahat, tidakkah dia punya sedikit saja perasaan, sehingga mampu merasakan apa yang dia rasakan saat ini?” Fauziah terdiam sambil memandangi nyonya yang berjalan menuju ruang pribadinya. Dia memang terkenal orang yang perfeksionis, semua harus nampak sempurna, nyaris tanpa cela.
Aku bukan kuda perah, yang siap diperas semua tenaga dan susunya. Aku hanya manusia biasa yang memiliki keterbatasan batinnya. Tapi apa peduli majikan padanya. Baginya, pembantu harus dimanfaatkan secara maksimal, kerja dan kerja. Uang yang ia keluarkan harus sebanding dengan hasil yang dia dapatkan, kalau bisa harus untung.
“Fauziah…, Fauziah…” ada sebuah panggilan dari tingkat dua rumahnya, rupanya sang majikan kembali menghampirinya dan menuntunnya di suatu tempat. Nampak dua almari besar berisi pernik-pernik beraneka rupa. Dia membawa dua buah kunci dan mulai membukanya. Dia menyuruhnya mengeluarkan semua barang yang ada, membersihkannya dan menatanya kembali seperti semula. Lagi-lagi Fauziah tidak bisa membantahnya, walau rasa lelah begitu menyergapnya sampai ke tulang rusuk. Sendi-sendinya terasa mau copot rasanya. Tetap tidak ada pilihan lain baginya.
Rasa penatnya semakin menjadi-jadi tatkala, dia harus bekerja sendirian. Sofi, temannya dipulangkan karena mencuri perhiasan. Dunia bagai kiamat,  ketika saudara nyonya yang stress tinggal bersama. Perabot rumah tangga berhamburan, barang-barang di dapur dirusak dan banyak keanehan-keanehan lainnya yang membuat hati Fauziah semakin runyam. Otomatis, menjadi tambahan perkerjaan baginya. Fauziah pontang-panting mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Belanja, memasak, mengepel, mencuci, setrika dan lainnya yang sungguh melelahkan. Dia bekerja pontang panting bak tenaga kuda. Belum selesai satu urusan, urusan-urusan lainnya minta dikerjakan. 
“Ya Allah, kuatkan hamba dalam menjalani pekerjaan yang berat di sini. Hanya Engkau yang mampu memberi kekuatan” itulah sepenggal doa yang Fauziah mohonkan.
Kalau bukan demi si buah hatinya, dia tidak mau jauh-jauh bekerja di negeri orang. Jam kerja yang tidak mengenal waktu, jauh dari orang-orang tercinta, tanpa sanak saudara bahkan kadang mendapatkan makian dan umpatan jika membuat sedikit kesalahan saja. Siapa yang mau, kalau bukan orang yang kepepet? Ia meradang sendirian.
Walau berat hati kerja di Arab, namun Fauziah berusaha kuat. Kadang dia merasakan penat yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Kini, dia menyadari bahwa kekuatannya sudah berkurang, pandangan agak sedikit blawur, dan bergerak agak pelan.
Semua tenaga sudah dia kerahkan untuk bekerja. Terkuras habis hampir tak tersisa. Bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, Fauziah bertahan di negeri asing. Kelelahannya sudah sampai pada titik klimaks. Kadang-kadang,dia tidak bisa tidur lalu menangis sendirian, badannya rapuh, jiwanya kosong.
 “Ahmad… Rara… kau baik-baik saja kan? Ibu selalu menyanyangimu sepanjang hidupku, belajar yang rajin ya? Jadi anak yang shalih dan shalihah, jangan lupa ya, Nak untuk mengaji dan sembahyang, Ibu rindu sekali pada kalian!” begitu tiap hari yang dia lakukan menjelang tidur malamnya. Sambil terus memegangi dan menciumi foto kedua anaknya. Wajah polos kedua anaknya mampu memberikan semangat untuk bertahan di negeri seberang, walau rasa rindu tidak dapat dibendung.
Namun, keinginan untuk berkumpul dengan keluarga mengalahkan segalanya di akhir hayatnya. Dan inilah surat terakhir yang dikirim Fauziah untuk keluarganya di Indonesia. Dia berkeputusan pulang setelah secara medis dinyatakan tidak sehat. Dia menderita komplikasi dan tubuhnya menghitam lebam. Dia sangat lelah. Lelah lahir dan batin yang tak terkira. Berpuluh-puluh tahun berjuang, bekerja keras untuk pendidikan anak-anaknya di Indonesia. Inilah surat terakhirnya untuk keluarga di Indonesia.
Jeddah, 14 Agustus 2009
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Suamiku tercinta, Ahmad dan Rara yang selalu Ibu rindukan, bagaimana kabar kalian disana? Semoga baik-baik saja karena disini Ibu tak pernah putus doa untuk kalian. Ibu percaya Allah selalu melindungi kalian disana.
Suamiku, Ahmad dan Rara, ada kabar gembira yang ingin Ibu sampaikan. Kemarin setelah Pak Abdullah pulang dari bisnisnya, Ibu memberanikan diri untuk bilang bahwa Ibu ingin kembali ke Indonesia. Tidak untuk satu bulan atau dua bulan, tapi untuk selamanya.
Awalnya Pak Abdullah dan keluarganya keberatan, karena bagi mereka, Ibu sudah di anggap seperti keluarga sendiri yang sangat mereka percayai. Tidak mudah menemukan orang seperti Ibu, katanya demikian.
Tapi, Alhamdulillah. Dengan sedikit pengertian dari Ibu, Pak Abdullah luluh juga. Ibu akan pulang, nak. Ibu akan kembali.
Tapi kata Pak Abdullah harus menunggu waktu dua bulan dulu untuk mengurus surat-surat dan beliaupun harus mencari pembantu pengganti ibu.
Bersabarlah, Nak! Bukankah waktu  dua bulan itu sangat cepat? Bukankah dua puluh tahun saja kalian sanggup menjalaninya?
Mungkin beberapa hari lagi pihak biro akan menghubungi kalian. Jadi tidak usah khawatir. Cukup doa yang Ibu minta dari kalian. Semoga Ibu selamat sampai di Indonesia dan dapat bertemu dengan kalian tanpa sekurang apapun. Jadi tetaplah bersabar, ya nak. Ibu akan pulang. Segera dan selamanya. Ibu tidak akan meninggalkan kalian lagi. Ibu berjanji.
Oh ya, hampir lupa , ini Pak Abdullah titip jam tangan elegan untukmu serta sebuah kalung emas untuk adikmu. Etung-etung untuk hadiah pernikahanmu kelak katanya demikian.
Sedangkan untuk saudara-saudara bapak dan Ibu semua diberi  satu dozen sendok dan garpu. Hadiah dan oleh-oleh yang diberikan begitu banyak ada kain, sajadah, tasbih, kurma dan jinten hitam. Yang terakhir ini katanya menjadi obat untuk segala penyakit. Ibu akan paketkan, dan semoga nanti bisa membawa berkah.
Cukup sekian dulu ya?
Wassalam
Salam rindu dari Ibumu

Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Bumi berputar zaman beredar.  Kini, Ahmad tumbuh besar dan menjadi polisi, mempersunting dokter gigi.  Sedang sang adik, Rara menjadi seorang bidan, berjodoh dengan pelaut  dari Bangkalan Madura.
Fainna maal úsri yusra. Ya, Tuhan memang tidak tidur. Perjuangan dan kerja kerasnya, berbuah manis.  Diapun kembali sehat dan segar bugar setelah berkumpul dengan keluarga tercintanya.
Kerja kerasnya selama 26 tahun sebagai TKW dengan segala duka laranya, berganti dengan keceriaan. Kini, pelangi itu benar-benar ada di akhir hidupnya, menggantikan awan tebal yang memayunginya.

Catatan            :
v  khusnudhon: berbaik sangka
v  ukhti: saudara perempuannaam
v  naam: ya
v  min aina anti: dari mana anda (perempuan) berasal?
v  ila liqa ma’a assalama: sampai jumpa
v  tafadhal udkhul: silahkan masuk
v  toyyibah: kata-kata yang baik

Posting Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Amin... Alhamdulillah...
    Semoga menginspirasi

    BalasHapus
  3. bagus , bisa menjadi pembelajaran bagi semua orang

    BalasHapus
  4. bagus bu cerita ini dapat menginspirasi kita :)

    BalasHapus
  5. bagus bu cerita ini dapat menginspirasi kita :)

    tri pujiyanto 8D

    BalasHapus

 
Top