“Pyar…” suara lemparan piring terdengar keras. Arman marah tingkat akut
karena tidak ada lauk-pauk kesukaannya.
“Di
rumah seharian kok tidak becus memasak, apa saja yang kau kerjakan
selama ini, kak? Hanya merepotkan orang tua saja!”
“Door…!” tendangan ala Si Madun persis mengenai bibir pintu. Untung
saja engsel yang sudah udzur dimakan usia tak lepas. Fauziah hanya dapat
mengelus dada.
“Krompyang!” kali ini wajan menjadi sasaran. Kelu menyaksikan peristiwa
demikian. Lalu, adiknya ngeloyor,
meninggalkan pecahan piring dan tumpahan wajan yang beraneka ragam bentuk dan
warnanya serta luka yang mendalam di hati kakaknya.
Fauziah
dan suaminya membisu. Mereka tidak mungkin mendekati adiknya saat itu. Fauziah
seorang ibu muda berkulit putih dan berbadan tambun merasa sedih. Dia dan
suaminya merasa tertekan dengan keadaan ekonominya yang serba susah saat itu.
Mereka masih menumpang di rumah orang tuanya dengan kedua anaknya. Dan otomatis
keseharian bersama-sama dengan kelima adiknya yang berbeda karakter.
Dia
masih ingat betul ocehan adik laki-lakinya,
mengeluarkan kata-kata kasar nan pedas bak lombok
setan. Ia mengungkit-ungkit kakaknya yang tidak mandiri. Walau benar, namun
terasa sakit menusuk-nusuk sampai ke relung jiwa.
“Apa
yang dapat kita lakukan, Bu? kelihatannya kita tidak bisa tinggal disini lagi.
Kasihan Bapak Ibu pontang-panting mencari biaya adik-adik.” Suami Fauziah yang
seorang santri nan alim dan berwajah ganteng memulai mengungkapkan perasaannya.
“Ya,
Pak, saya juga merasa tidak nyaman tinggal di sini yang terus-menerus
merepotkan Ibu Bapak kita. Bahkan mereka menjadi donatur tetap keluarga kita.
Biaya rawap inap si Ahmad kemarin banyak, kebutuhan berjibun, semua sudah
dilunasinya, ini menjadi sebab kecemburuan adik kita.”
“Sebagai
suami saya juga merasa hina, Bu. Saya belum mampu membelikan baju yang bagus, make up, sandal, tas, perhiasan, mengajak
jalan-jalan dan apalagi untuk membelikan mainan untuk anak-anak kita, Ayah
macam apa aku ini!”
“Sudahlah,
Ibu menerima bapak apa adanya. Yang penting sudah ikhtiar.” Fauziah menggenggam erat tangan
suaminya, menguatkan dinding hatinya yang rapuh.
“Saya
bisa sedikit mengaji, namun kemampuanku itu kurang dapat berkembang, sebab
hampir semua penduduk sudah pandai mengaji.” Keduanya menatap dinding kamarnya
untuk mencari jawab.
***
Sudah
sebulan keluarga Fauziah menempati
rumah kakeknya di lain kecamatan. Berbagi
dinding dengan penjual dawet tak apalah, mungkin di tempat ini keadaan
akan membaik. Namun kenyataannya, masalah masih saja menemani hari-harinya.
Pasalnya, salah satu tetangga terdekatnya yang kaya raya sering unjuk materi di
depan keluarganya. Itulah yang membuat kedua anaknya terusik dan sering
menangis. Sungguh
berbanding terbalik kehidupannya. Suami Fauziah hanya seorang ustadz ngaji di musholla dan
kadang-kadang menjadi tenaga serabutan. Jangankan membeli buah atau mainan, beras saja, masih dijatah oleh kakaknya yang seorang
pegawai. Keadaannya betul-betul sulit
bagai dapur tanpa asap.
“Mengapa anakku harus merasakan kegetiran hidup seperti ini?”
“Sabar,
Bu, semoga semuanya cepat berlalu.” Suami Fauziah selalu bisa mengajarkan
istrinya untuk terus bersabar atas semua ujian Allah.
“Maafkan, Ibu, Nak. Ibu belum
bisa membelikanmu es krim. Ibu janji suatu saat kalau ada rejeki, Ibu pasti membelikanmu,” Fauziah bicara sendiri.
Teringat
tadi siang, si Ahmad dan adiknya bergantian mengambil bekas es krim
tetangganya dan berkali-kali menghisapnya penuh sensasi. Apalagi baru saja
kedua anaknya juga mengambil kulit jeruk yang dibuang orang lewat, menghisap
baunya dalam-dalam. Hatinya jadi teriris-iris.
“Ya
sudahlah, Bu, semoga anak-anak tetap sehat. Khusnudhon saja.
“Belum
lagi tadi si Rara menangis terus minta dibelikan boneka Barby. Ia ingin menggendong
boneka, sebagai teman mainnya.” Fauziah menambahkan.
“Bapak
akan berusaha mencari pekerjaan halal, semoga besok rejeki kita bertambah” dan
di iyakan istrinya.
***
Malam
Minggu tiba, itu artinya akan ada suara keras khas bapak-bapak yang bermain badminton di
lapangan sebelah.
Rumah yang ditempati Fauziah memang berhimpitan langsung dengan lapangan, hanya
3 meter saja, nyaris menyatu. Kelihatannya bapak-bapak antusias dan enjoy sekali dengan gurauan, teriakan dan
tepuk tangan meriah sepanjang permainan yang berlangsung hingga midnight. Di penghujung malam, suara-suara tadi melemah,
menjauh dan kini sepi mencekam. Hanya ada bekas-bekas minuman air
mineral, sisa makanan dan puntung rontok plus abunya yang berserakan tiada
tertata kemana-mana.
“Akankah
aku berdiam diri dengan kondisi sekarang? Menjadi bahan tontotan, tertawaan dan
olok-olokan para warga. Aku ingin mengubah nasib,” Fauziah bicara dengan
semangat membara. Atas persetujuan suami dan segala macam pertimbangan, akhirnya Fauziah berketetapan pergi ke Saudi Arabia sebagai Tenaga Kerja
Wanita (TKW). Pertama kali Fauziah berangkat
pada tahun 1984 silam. Tekadnya sudah bulat demi masa depan anak-anaknya kelak.
“Maafkan
Ibu, Nak. Ibu terpaksa harus berpisah dengan kalian berdua dan juga
ayahmu. Ibu tidak ingin kau menderita kelak di kemudian hari. Walau berat hati
tidak melihat dan mendampingimu, dalam masa-masa tumbuh kembangmu. Namun
yakinlah doa-doa ibu akan selalu mengalir untuk keluarga kita tercinta.”
Fauziah
menangis dan bicara sendiri sambil memeluk kedua buah hatinya yang tengah
tertidur pulas, lelap nyaris tanpa dosa. Menciuminya dengan sepenuh hati
dan kasih sayang. Kini, air matanya berlinang beranak sungai, mengingat besok adalah hari
keberangkatannya di Saudi sebagai Tenaga kerja Wanita (TKW).
***
Panas
terik membakar Bandara King Abdul Aziz. Fauziah merasa seperti orang asing.
Tanpa saudara, suami dan anak-anak serta orang-orang yang dikenalnya, ia bagai
hidup sebatang kara di dunia yang keras dan luas ini.
“Harus bagaimana aku sekarang? Di negeri orang,
jauh dari keluarga sementara orang yang menjemputku tidak kunjung datang.” Kecemasan demi kecemasan bergelayut di hatinya.
Belum-belum rasa rindu pada si buah hati dan kemauan untuk mengubah nasib
sudah menyiksanya. Kini, dia linglung dan limbung.
Dia
berdiri di pojok sebuah ruangan, termenung demi menanti seseorang.
Sebentar menengok ke samping kanan, kiri, depan dan belakang. Menunggu, memang
pekerjaan yang paling menjemukan. Satu jam, dua jam, tiga jam, genap dua puluh
empat jam dia menunggu.
Sampai satu setengah hari, ternyata orang yang
dinanti belum nongol juga. Rasa jenuh, haus, lapar dan
takut mulai menyerangnya. Dia merasakan perutnya keroncongan. Wajahnya yang putih bersih mulai memucat dan
tubuh gemetaran, keringat dinginnya membasahi tubuhnya, matanya meredup dan
berkunang-kunang, semuanya menjadi remang-remang. Fauziah masih setia menunggu seorang majikan, yang sekelebat bayangan seperti apa majikannya saja belum
ada di benaknya. Dalam keterbatasan dan keputusasaan, dia tetap berdoa lirih
memohon pertolongan.
“Duh Gusti, berikan kekuatan dan pertolongan-Mu padaku. Hanya Engkau Dzat yang mampu memberi jalan
keluar terbaik kepadaku.” Doanya terus saja mengalir lirih sambil memegangi perutnya yang
kembang kempis bak puasa Senin-Kamis. Dia roboh.
Diantara
rasa putus asa dan takutnya, tiba-tiba ada seorang ibu muda datang. Mungkin dia merasa iba melihatnya yang nampak pucat pasi
seperti mayat hidup. Dia menghampirinya dengan penuh kelembutan. Fauziah yakin bahwa dia adalah malaikat yang diutus Allah untuk memberinya pertolongan. Dia datang tepat, disaat dia
sedang sekarat. Sentuhan-sentuhan ajaibnya mampu memberikan energi positif. Ia
basuh pelipisnya dengan tisu lembut, selembut sutera sambil bicara bahasa Arab,
Mungkin, berisi doa-doa untuk membuatnya sehat. Dalam diamnya, Fauziah
merasakan semua kebaikan, sentuhan dan ketulusan hatinya.
Alhamdulillah…
semua ini berkat pertolongan-Mu, Ya Allah batinnya penuh rasa syukur yang tiada tara. Malaikat itu terus
memberikan sentuhan istimewanya.
Pelahan-lahan Ukhti itu memberikan olesan minyak di
tengkuk serta di dada dan punggung Fauziah. Lalu, membuka tas hitamnya. Satu
demi satu kurma disuapkan di mulut Fauziah dengan penuh kasih, dia juga
memberikan sebuah botol air mineral.
“Alhamdulillah, syukron katsir ya, Ukhti?”
Hanya itu yang dapat Fauziah ucapkan saat itu.
“Naam,
naam.” Sang Ukhti menjawab dengan anggukan yang
tulus sambil memberi olesan minyak. Kini, matanya mulai jelas memandang orang
yang ada di sekelilingnya. Sungguh mujarab sekali kurma dan air mineral ini,
akunya.
“Min
aina anti, ya Ukhti?”
“Indonesia”,
Fauziah menjawab pertanyaannya dengan malu tapi senang. Si Ukhti mengajaknya berbincang-bincang. Namun sayang, Fauziah belum begitu mahir melafalkan kata-kata Arab. Maklum, ini
baru kedatangannya yang pertama kali.
Si Ukhti memberikan kartu nama pada Fauziah.
Sebuah nama tercetak jelas disana, Jamilaa, seorang yang baik hati telah
menolongnya. Nama nan cantik.
“Ila
liqa ma’a assalamah, Assalamualaikum” itu kata-kata terakhir yang
meluncur dari Ukhti tersebut.
“Waalaikum
salam Wr Wb…” Fauziah
menjawabnya seraya memandangi kepergiannya. Sepuluh menit kemudian, sang majikan
sudah ada di depan mata untuk membawa Fauziah ke rumahnya.
“Hal
anti Fauziah min Indonesia?”
“Naam-naam,
Sayyid, ana Fauziah min Indonesia”
“Tafadhal
udkhul!” sambil membukakan pintu mobilnya dia
mempersilahkan Fauziah masuk. Fauziah duduk membisu sambil
memegangi tas pakaiannya. Di mobil, dia tidak bisa menyembunyikan rasa
takutnya. Untuk memenangkan dirinya, dia melafalkan kalimat toyyibah.
***
Hari
pertama bekerja di negara manca sungguh mengagetkan. Kehidupannya di desa
sungguh bertolak belakang dengan di sana. Dari bangunan rumah, alat makan,
kebiasaan makan, menu makan, jam kerja serta adat kebiasaan lainnya. Oh ya,
pakaian harian juga berbeda. Kini, Fauziah membalut tubuhnya dengan gamis dan
jilbab hitam.
Rumah
sang majikan terdiri dari tiga tingkat, dengan anggota keluarga berjumlah
sepuluh orang. Pak Abdullah memiliki delapan orang anak, empat laki-laki dan
empat perempuan. Ditambah dua pembantu berarti menjadi dua belas orang.
Masing-masing anak memiliki ruangan tersendiri kecuali si bungsu yang baru
berumur empat tahun. Dia masih tidur sekamar dengan ayah bundanya.
“Assalamualaikum,
Fauziah”
“Waalaikum
salam, Mbak siapa?”
“Saya
Sofia, panggil saya Sofi, asli Garut” nyes,
ada setitik embun yang menyejukkan hatinya. “Saya sudah di sini sejak sepuluh
bulan yang lalu, gini mbak, kita ada pembagian tugas bekerja, agar
semua beres dan terasa lebih enteng” Sofia berkata-kata pada teman barunya.
Sedang Fauziah menganggukkan kepalanya.
“Pekerjaan
di sini apa saja mbak?” tanyanya.
“Ya
banyak tow, memasak, mencuci, mengepel,
menyetrika, bersih-bersih, belanja, mengasuh anak dan sebagainya, yang jelas
semua perabot harus terjaga kebersihannya tanpa terkecuali” jawab Sofi dengan
tegas.
” O
ya, makasih Mbak” begitulah tugasnya di sini sehari-hari yang harus dijalani.
***
Fauziah
menyeka keringat yang masih tersisa di kening atasnya. Dia baru saja selesai
mengepel semua ruangan yang ada, tiba-tiba ada panggilan dari sang nyonya
memintanya menyetrika pakaian. Tidak disangka, betapa banyak jumlah pakaian yang
harus diselesaikannya. Nampak seperti gunung Merbabu saja, entah sampai berapa
jam selesainya, hatinya berkata, ini pertama kalinya menyetrika terbanyak
sepanjang sejarah. Baru saja selesai menyetrika, Si nyonya kembali menyuruhnya
membersihkan semua furniture yang ada di tingkat tiga.
“Makan
dulu mbak, nanti sakit lho”
tiba-tiba Sofia mengingatkannya untuk makan bersamanya. Memang dia sudah
menahannya dari tadi. Belum juga menyelesaikan makan bersama teman kerjanya,
ada panggilan dari sang majikan dari ruang sebelah.
“Fauziah…,
Fauziah…!” seraya mendekatinya, sang nyonya sudah membawa puluhan seprei di
tangannya. Dihamburkannya seprei tadi di lantai dekat Fauziah duduk. Fauziah
tahu, bahwa ia memintanya untuk mencucinya.
“Ya
Allah, apa nyonya tidak tahu bahwa saya seharian baru makan, belum istirahat,
tidakkah dia punya sedikit saja perasaan, sehingga mampu merasakan apa yang dia
rasakan saat ini?” Fauziah terdiam sambil memandangi nyonya yang berjalan
menuju ruang pribadinya. Dia memang terkenal orang yang perfeksionis, semua harus nampak sempurna, nyaris
tanpa cela.
Aku
bukan kuda perah, yang siap diperas semua tenaga dan susunya. Aku hanya manusia
biasa yang memiliki keterbatasan batinnya. Tapi apa peduli majikan padanya. Baginya,
pembantu harus dimanfaatkan secara maksimal, kerja dan kerja. Uang yang ia
keluarkan harus sebanding dengan hasil yang dia dapatkan, kalau bisa harus
untung.
“Fauziah…,
Fauziah…” ada sebuah panggilan dari tingkat dua rumahnya, rupanya sang majikan
kembali menghampirinya dan menuntunnya di suatu tempat. Nampak dua almari besar
berisi pernik-pernik beraneka rupa. Dia membawa dua buah kunci dan mulai
membukanya. Dia menyuruhnya mengeluarkan semua barang yang ada, membersihkannya
dan menatanya kembali seperti semula. Lagi-lagi Fauziah tidak bisa
membantahnya, walau rasa lelah begitu menyergapnya sampai ke tulang rusuk.
Sendi-sendinya terasa mau copot rasanya. Tetap tidak ada pilihan lain baginya.
Rasa
penatnya semakin menjadi-jadi tatkala, dia harus bekerja sendirian. Sofi,
temannya dipulangkan karena mencuri perhiasan. Dunia bagai kiamat, ketika
saudara nyonya yang stress tinggal bersama. Perabot rumah tangga berhamburan,
barang-barang di dapur dirusak dan banyak keanehan-keanehan lainnya yang
membuat hati Fauziah semakin runyam. Otomatis, menjadi tambahan perkerjaan
baginya. Fauziah pontang-panting mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.
Belanja, memasak, mengepel, mencuci, setrika dan lainnya yang sungguh
melelahkan. Dia bekerja pontang panting bak tenaga kuda. Belum selesai satu
urusan, urusan-urusan lainnya minta dikerjakan.
“Ya
Allah, kuatkan hamba dalam menjalani pekerjaan yang berat di sini. Hanya Engkau
yang mampu memberi kekuatan” itulah sepenggal doa yang Fauziah mohonkan.
Kalau
bukan demi si buah hatinya, dia tidak mau jauh-jauh bekerja di negeri orang.
Jam kerja yang tidak mengenal waktu, jauh dari orang-orang tercinta, tanpa
sanak saudara bahkan kadang mendapatkan makian dan umpatan jika membuat sedikit
kesalahan saja. Siapa yang mau, kalau bukan orang yang kepepet? Ia meradang sendirian.
Walau
berat hati kerja di Arab, namun Fauziah berusaha kuat. Kadang dia merasakan
penat yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Kini, dia menyadari bahwa
kekuatannya sudah berkurang, pandangan agak sedikit blawur, dan bergerak agak pelan.
Semua
tenaga sudah dia kerahkan untuk bekerja. Terkuras habis hampir tak tersisa.
Bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, Fauziah bertahan di negeri asing.
Kelelahannya sudah sampai pada titik klimaks. Kadang-kadang,dia tidak bisa
tidur lalu menangis sendirian, badannya rapuh, jiwanya kosong.
“Ahmad…
Rara… kau baik-baik saja kan? Ibu selalu menyanyangimu sepanjang hidupku,
belajar yang rajin ya? Jadi anak yang shalih dan shalihah, jangan lupa ya, Nak untuk mengaji dan
sembahyang, Ibu rindu sekali pada kalian!” begitu tiap hari yang dia lakukan
menjelang tidur malamnya. Sambil terus memegangi dan menciumi foto kedua
anaknya. Wajah polos kedua anaknya mampu memberikan semangat untuk bertahan di
negeri seberang, walau rasa rindu tidak dapat dibendung.
Namun,
keinginan untuk berkumpul dengan keluarga mengalahkan segalanya di akhir
hayatnya. Dan inilah surat terakhir yang dikirim Fauziah untuk keluarganya di
Indonesia. Dia berkeputusan pulang setelah secara medis dinyatakan tidak sehat.
Dia menderita komplikasi dan tubuhnya menghitam lebam. Dia sangat lelah. Lelah
lahir dan batin yang tak terkira. Berpuluh-puluh tahun berjuang, bekerja keras
untuk pendidikan anak-anaknya di Indonesia. Inilah surat terakhirnya untuk
keluarga di Indonesia.
Jeddah, 14 Agustus 2009
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Suamiku tercinta, Ahmad dan Rara yang selalu Ibu rindukan, bagaimana
kabar kalian disana? Semoga baik-baik saja karena
disini Ibu tak pernah putus doa untuk kalian. Ibu percaya Allah selalu
melindungi kalian disana.
Suamiku, Ahmad dan Rara, ada
kabar gembira yang ingin Ibu sampaikan. Kemarin setelah Pak Abdullah pulang
dari bisnisnya, Ibu memberanikan diri untuk bilang bahwa Ibu ingin kembali ke
Indonesia. Tidak untuk satu bulan atau dua bulan, tapi untuk selamanya.
Awalnya Pak Abdullah dan
keluarganya keberatan, karena bagi mereka, Ibu sudah di anggap seperti keluarga
sendiri yang sangat mereka percayai. Tidak mudah menemukan orang seperti Ibu,
katanya demikian.
Tapi, Alhamdulillah. Dengan
sedikit pengertian dari Ibu, Pak Abdullah luluh juga. Ibu akan pulang, nak. Ibu
akan kembali.
Tapi kata Pak Abdullah harus
menunggu waktu dua bulan dulu untuk mengurus surat-surat dan beliaupun harus
mencari pembantu pengganti ibu.
Bersabarlah, Nak! Bukankah
waktu dua bulan itu sangat cepat? Bukankah dua puluh tahun saja kalian
sanggup menjalaninya?
Mungkin beberapa hari lagi
pihak biro akan menghubungi kalian. Jadi tidak usah khawatir. Cukup doa yang
Ibu minta dari kalian. Semoga Ibu selamat sampai di Indonesia dan dapat bertemu
dengan kalian tanpa sekurang apapun. Jadi tetaplah bersabar, ya nak. Ibu akan
pulang. Segera dan selamanya. Ibu tidak akan meninggalkan kalian lagi. Ibu
berjanji.
Oh ya, hampir lupa , ini Pak
Abdullah titip jam tangan elegan untukmu serta sebuah kalung emas untuk adikmu.
Etung-etung untuk hadiah pernikahanmu kelak katanya demikian.
Sedangkan untuk
saudara-saudara bapak dan Ibu semua diberi satu dozen sendok dan garpu.
Hadiah dan oleh-oleh yang diberikan begitu banyak ada kain, sajadah, tasbih,
kurma dan jinten hitam. Yang terakhir ini katanya menjadi obat untuk segala
penyakit. Ibu akan paketkan, dan semoga nanti bisa membawa berkah.
Cukup sekian dulu ya?
Wassalam
Salam rindu dari Ibumu
Tidak
ada yang mustahil bagi-Nya. Bumi berputar zaman beredar. Kini, Ahmad tumbuh besar dan menjadi
polisi,
mempersunting dokter gigi. Sedang sang adik, Rara menjadi seorang bidan, berjodoh dengan pelaut dari Bangkalan Madura.
Fainna maal úsri yusra. Ya, Tuhan memang tidak tidur.
Perjuangan dan kerja kerasnya, berbuah manis. Diapun kembali sehat dan
segar bugar setelah berkumpul dengan keluarga tercintanya.
Kerja
kerasnya selama 26 tahun sebagai TKW dengan segala duka laranya, berganti
dengan keceriaan. Kini, pelangi itu benar-benar ada di akhir hidupnya,
menggantikan awan tebal yang memayunginya.
Catatan
:
v khusnudhon: berbaik sangka
v ukhti: saudara perempuannaam
v naam: ya
v min aina anti: dari mana anda
(perempuan) berasal?
v ila liqa ma’a assalama: sampai jumpa
v tafadhal udkhul: silahkan masuk
v toyyibah: kata-kata yang
baik
mantabb nich... :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAmin... Alhamdulillah...
BalasHapusSemoga menginspirasi
bagus , bisa menjadi pembelajaran bagi semua orang
BalasHapusbagus bu cerita ini dapat menginspirasi kita :)
BalasHapusbagus bu cerita ini dapat menginspirasi kita :)
BalasHapustri pujiyanto 8D