Belum ada listrik. Adanya oncor yang dibawa oleh jamaah. Senter
juga belum memasyarakat. Suasana gelap dan sunyi. Hanya ada suara jangkrik, katak dan burung hantu yang menemani sepanjang
malam. Bunyi dari pohon bambu yang tertiup angin juga membuat bulu kuduk menjadi berdiri. Kadang keras, lirih dan mendayu. Membuat merinding orang yang sedang berjalan sendirian
menyusuri jalan setapak yang terjal dan berbatu. Jalan akan berlumpur jika musim hujan tiba. Kalau tidak berhati-hati dalam berjalan, pejalan kaki bisa
terpeleset jatuh ke jalan ataupun jurang tajam. Kira-kira
seperti itulah gambaran kondisi alam tahun 80an silam.
Malam
Selasa tiba. Selepas menjalankan shalat Maghrib, puluhan remaja putri mulai mengayunkan langkahnya menuju
rumah Fifi dengan ditemani oncor. Oncor-oncor yang telah dipersiapkan semenjak
sore hari berbaris cantik menerangi sepanjang perjalanan yang mengasyikkan. Barisan
remaja bagai parade kembang api nan indah nan menawan.
Ke... ke...te...q...brug... suara
dampar ( tempat duduk yang berukuran besar terbuat dari papan)
tiba-tiba ambrug. Sontak jamaah pengajian dzibaan dan Al-Barzanzi di rumah Fifi yang duduk di atasnya menjadi ketakutan dan kaget sehingga berpindah lokasi dengan beralas tanah demi menuntaskan sebuah acara . Mungkin terlalu banyak
jamaah, sehingga dampar tidak kuat untuk menyangganya. Walau ada
sedikit halangan, namun acara tetap berlangsung sampai paripurna. Accident itu menimbulkan sedikit trauma dan rasa takut dan kaget sekaligus kenangan
sepanjang masa, bagi Nurma khususnya.
Dzibaan dan Al-Barzanzi adalah kegiatan
remaja yang sudah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Asyik juga ternyata, kegiatan ini memiliki manfaat yang banyak. Antara lain
melafalkan makhraj bahasa Arab secara fasih,
mengembangkan vokal, meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Serta menjalin persaudaraan sesama muslim, sebab
seminggu sekali dapat bertemu dan berbagi ilmu.
Di sinilah Fifi tinggal. Fifi nama seorang gadis yang terkenal pandai mengaji dan bersuara emas.
Wajahnya cantik jelita, tutur katanya lembut nan mempesona, perangainya halus bak sutra Dia adalah permata terpendam yang selalu dinantikan kehadirannya. Dia tumbuh dan berkembang di sebuah desa yang terkenal sebagai desa
santri. Semua penduduknya beragama Islam. Ada seorang Kyai kharismatik yang selalu
mengayomi dan memberikan tausiah pada warganya. Tidak semua desa memiliki
kegiatan seperti ini karena belum tentu memiliki sumber daya manusia yang handal. Kenangan Nurma tentang kehidupan masa kecilnya tak dapat
dilupakan sepanjang masa.
***
Di
siang bolong nan terik, angkota berjalan dengan kecepatan sedang. Debu beterbangan menyapu para pejalan kaki. Para
penumpang yang ada di angkota jurusan 3 duduk rapi di tempatnya masing-masing. Kadang-kadang, angkota
berhenti sejenak untuk
memberi kesempatan bagi penumpang yang mau naik ataupun turun. Angin nan segar menyapu wajah dan rambut para penumpang dengan mesra.
Nurma adalah salah satu penumpang yang ada di
angkotan tersebut. Saat itu, Nurma pulang dari pondok. Dia mondok di salah satu pesantren untuk memperdalam
ilmu agama Islam. Sepanjang perjalanan, Nurma memandang di
luar jendela. Melihat pemandangan alam serta lalu lalang kesibukan orang. Nurma terkesima. Matanya nanar pada salah satu objek di luar. Dari
balik jendela nampak Fifi berjalan tanpa alas kaki. Rambutnya kumal, pakaiannya
lusuh mungkin sudah sebulan tidak ganti, badannya amat kotor, ada
kotoran-kotoran hitam yang menempel di tubuhnya baik di wajahnya maupun anggota
badan yang lain. Mulutnya komat kamit berbicara sendiri dan kadangkala nyengir
sendirian. Kadang tertawa lepas.... namun tatapan matanya kosong. Hati Nurma
terkesiap.
“Mana mungkin kembang desa berubah seperti itu? Apa penyebabnya? Beberapa
pertanyaan berkecamuk di hatinya. Mungkinkah ia stres atau bahkan lebih dari
itu? Entah apa yang dia rasakan saat.” Semuanya
menjadi teka-teki bagi Nurma.
Sesampai di rumah, Nurma segera mencari
kakaknya. Ia ingin mengungkap rahasia yang terjadi di desanya selama dia tinggal di
Pesantern.
Ternyata kakaknya baru sibuk di ladang menanam pohon pisang. Tak sabar rasanya
ingin menguak misteri si Fifi, ia berlari menyusul ke kebun belakang rumah.
Saat itu, kakaknya sibuk menanam serta membersihkan rumput dan semak yang ada
di kebun. Kakaknya memang sangat akrab dengan tanam-menanam. Apapun yang ditanamnya dapat tumbuh subur dan berbuah lebat.
“Pohon pisang apa yang kau tanam, Mbak” suara
Nurma mengagetkan Mbak Titi yang tengah asik dengan aktivitasnya. Dia menoleh
mencari sumber suara.
“Ooo…
adikku pulang rupanya! Ini ada pisang Kepok, Kapas, Kluthuk dan Tawi. Semoga
semua bisa tumbuh subur di sini. Lumayan, bisa dikonsumsi sendiri.” Dia memang
paling suka menanam berbagai jenis pisang. Banyak jenis pohon buah ada di sini. Alpokat, Jambu Air, jambu Merah, Duku, Sirsat dan manggis . Buah apel juga ada.
“Mbak,
memang kenapa tow… Mbak Fifi kok bisa seperti itu? Tadi aku lihat dia di
jalanan sepanjang Salatiga-Macanan?” Nurma memulai pertanyaan tentang si Fifi.
“Belum
tahu tow? Dia itu kecewa berat dengan bapaknya. Uang yang ia kirim dari Saudi
ludes. Padahal dia hanya ingin melihat rumah orang tuanya dibangun dan menjadi
bagus. Uang entah ke mana. Mungkin telah dibelikan sawah ladang.”
“Berarti
ceritane dia itu stress ya, Mbak?”
“Ya
begitulah kira-kira. Padahal dia berencana, setelah rumah bagus, dia ingin
melangsungkan pernikahan dengan jejaka pencuri hatinya.”
“Belum
diobatkan ya, Mbak?”
“Yo
sudah tow, tapi si Fifi pulang sendiri. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa.
Sepertinya ada yang membantunya dari dalam.”
“Wach…
kasihan sekali. Dia kan sangat berprestasi.” Nurma sudah mengetahui semua
penyebab sakitnya Fifi. Dia hanya menyayangkan sikap ayahnya yang otoriter.
Mengapa ayahnya tega berbuat itu pada anak kandungnya sendiri.
Mbak Titi menambahkan ceritanya
tentang Fifi. Saat itu dia bicara sendiri menuntut ayahnya untuk mengembalikan
semua uang yang telah dikirimnya. Dia bicara keras dan berulang-ulang. Sehingga
sekarang semua orang di kampung ini bahkan di luar kampung mengetahui keadaan Fifi
yang sebenarnya. Kakak Nurma menirukan ungkapan Fifi kala itu.
“Kembalikan uangku… kembalikan uangku… kau
tahu kan? Uang itu akan kubuat bangun rumah…biar cantik, indah dan sedap
dipandang mata. Lalu… aku mau nikah dengan mas Ilham… Uangku mana? Mana
uangku?” Fifi masih bicara sendiri. Orang yang memandangnya merasa aneh
dengan penampilannya yang nganeh-anehi. Dia stress berat bahkan dikatakan
sebagai orang gila oleh sebagian orang.
"Hi
hi hi..., ha ha ha ...." tawanya lepas. Namun, ada kalanya menangis
meraung-raung tak ketulungan sambil berlari ke sana ke mari tak karuan.
***
Hari berganti hari, keadaan Fifi
bukanlah membaik tetapi sebaliknya. Dia diam... dengan tatapan kosong. Semakin
lama semakin menjadi. Tertawa
cekikikan sendiri dan bicara sendiri. Mula-mula tidak mengamuk, namun lambat laun mengamuk berat. Aktivitasnya menggegerkan dan menimbulkan kekhawatiran
tersendiri bagi warga kampung. Melihat kondisi yang demikian pihak perangkat
desa membawanya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ ) di
Magelang. Namun, ternyata, dia bisa keluar dari RSJ dan jalan-jalan entah
kemana. Lelah juga pihak perangkat mengurus dirinya.
Masyarakat
ikut prihatin dan mendoakan Fifi agar membaik dan pulih seperti
sedia kala. Sebab apabila ditilik dari sejarah, dia tidak memiliki saudara yang
punya penyakit seperti itu. Dia lahir
dan tumbuh dari keluarga baik-baik, tidak ada masalah dan semuanya normal.
Hanya satu penyebabnya yaitu rasa kecewa yang mendalam atas gagalnya dia dalam
merenovasi rumah orang tuanya. Sementara orang tuanya terutama ayahnya sangat
keras dan tidak mau tahu dengan kondisi anaknya yang seperti itu.
***
Semuanya dapat dijadikan pelajaran. Tentang
sikap orang tua yang otoriter tentunya tidak baik bagi perkembangan jiwa anak.
Pentingnya keterbukaan dalam memecahkan suatu masalah. Kalau sudah begini.
Siapa yang salah? Nasi sudah menjadi bubur. Fifi sekarang sudah tidak
diketahui lagi dimana rimbanya. Sudah puluhan tahun menghilang tidak berbekas.
Sayang sekali sang kembang desa mengalami nasib yang tragis. Pesona sang
kembang desa telah pudar, seiring waktu yang terus berjalan.
bagus bu,bu umi pinter bgt buat ceritanya .
BalasHapusfebrianti wukirasih :-)
Syukron...
BalasHapusweh...ada bu umi sukses Bu Umbas
BalasHapusCeritanya sangat bagus... Langsung masuk didalam hati bu
BalasHapusMaisun 8C
Syukron...
BalasHapusSyukron...
BalasHapus