6
Belum ada listrik. Adanya oncor yang dibawa oleh jamaah. Senter juga belum memasyarakat. Suasana gelap dan sunyi. Hanya ada suara  jangkrik, katak  dan burung hantu yang menemani sepanjang malam. Bunyi dari pohon bambu yang tertiup angin juga membuat bulu kuduk menjadi berdiri. Kadang keras, lirih dan mendayu. Membuat merinding orang yang sedang berjalan sendirian menyusuri jalan setapak yang terjal dan berbatu.  Jalan akan berlumpur jika musim hujan tiba. Kalau tidak berhati-hati dalam berjalan, pejalan kaki bisa terpeleset jatuh ke jalan ataupun jurang tajam. Kira-kira seperti itulah gambaran kondisi alam tahun 80an silam.  
Malam Selasa tiba. Selepas menjalankan shalat Maghrib, puluhan  remaja putri mulai mengayunkan langkahnya menuju rumah Fifi dengan ditemani oncor. Oncor-oncor yang telah dipersiapkan semenjak sore hari berbaris cantik menerangi sepanjang perjalanan yang mengasyikkan. Barisan remaja bagai parade kembang api nan indah nan menawan.
Ke... ke...te...q...brug... suara dampar ( tempat duduk yang berukuran besar terbuat dari papan) tiba-tiba ambrug. Sontak jamaah pengajian dzibaan dan Al-Barzanzi di rumah Fifi yang duduk di atasnya menjadi ketakutan dan kaget sehingga berpindah lokasi dengan beralas tanah demi menuntaskan sebuah acara . Mungkin terlalu banyak jamaah, sehingga dampar tidak kuat untuk menyangganya. Walau ada sedikit halangan, namun acara tetap berlangsung sampai paripurna. Accident itu menimbulkan sedikit trauma dan rasa takut dan kaget sekaligus kenangan sepanjang masa, bagi Nurma khususnya.
Dzibaan dan Al-Barzanzi adalah kegiatan remaja yang sudah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi. Asyik juga ternyata, kegiatan ini memiliki manfaat yang banyak. Antara lain melafalkan makhraj bahasa Arab secara fasih, mengembangkan vokal, meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Serta menjalin persaudaraan sesama muslim, sebab seminggu sekali dapat bertemu dan berbagi ilmu.
Di sinilah Fifi tinggal. Fifi nama seorang gadis yang terkenal pandai mengaji dan bersuara emas. Wajahnya cantik jelita, tutur  katanya lembut nan mempesona, perangainya halus bak sutra Dia adalah permata terpendam  yang selalu dinantikan kehadirannya. Dia tumbuh dan berkembang di sebuah desa yang terkenal sebagai desa santri. Semua penduduknya beragama Islam. Ada seorang Kyai kharismatik yang selalu mengayomi dan memberikan tausiah pada warganya. Tidak semua desa memiliki kegiatan seperti ini karena belum tentu memiliki sumber daya manusia yang handal. Kenangan Nurma tentang kehidupan masa kecilnya tak dapat dilupakan sepanjang masa.

***
Di siang bolong nan terik, angkota berjalan dengan kecepatan sedang. Debu beterbangan menyapu para pejalan kaki. Para penumpang yang ada di angkota jurusan 3 duduk rapi di tempatnya masing-masing. Kadang-kadang, angkota berhenti sejenak untuk memberi kesempatan bagi penumpang yang mau naik ataupun turun. Angin nan segar menyapu wajah dan rambut para penumpang dengan mesra.
Nurma adalah salah satu penumpang yang ada di angkotan tersebut. Saat itu, Nurma pulang dari pondok. Dia mondok di salah satu pesantren untuk memperdalam ilmu agama Islam. Sepanjang perjalanan, Nurma memandang di luar jendela. Melihat pemandangan alam serta lalu lalang kesibukan orang. Nurma  terkesima. Matanya nanar pada salah satu objek di luar.  Dari balik jendela nampak Fifi berjalan tanpa alas kaki. Rambutnya kumal, pakaiannya lusuh mungkin sudah sebulan tidak ganti, badannya amat kotor, ada kotoran-kotoran hitam yang menempel di tubuhnya baik di wajahnya maupun anggota badan yang lain. Mulutnya komat kamit berbicara sendiri  dan kadangkala nyengir sendirian. Kadang tertawa lepas.... namun tatapan matanya kosong. Hati Nurma terkesiap.
Mana mungkin kembang desa berubah seperti itu? Apa penyebabnya? Beberapa pertanyaan berkecamuk di hatinya. Mungkinkah ia stres atau bahkan lebih dari itu? Entah apa yang dia rasakan saat.”  Semuanya menjadi teka-teki bagi Nurma.
Sesampai di rumah, Nurma segera mencari kakaknya. Ia ingin mengungkap rahasia yang terjadi di desanya selama dia tinggal di Pesantern. Ternyata kakaknya baru sibuk di ladang menanam pohon pisang. Tak sabar rasanya ingin menguak misteri si Fifi, ia berlari menyusul ke kebun belakang rumah. Saat itu, kakaknya sibuk menanam serta membersihkan rumput dan semak yang ada di kebun. Kakaknya memang sangat akrab dengan tanam-menanam. Apapun yang ditanamnya dapat tumbuh subur dan berbuah lebat. 
 “Pohon pisang apa yang kau tanam, Mbak” suara Nurma mengagetkan Mbak Titi yang tengah asik dengan aktivitasnya. Dia menoleh mencari sumber suara.
“Ooo… adikku pulang rupanya! Ini ada pisang Kepok, Kapas, Kluthuk dan Tawi. Semoga semua bisa tumbuh subur di sini. Lumayan, bisa dikonsumsi sendiri.” Dia memang paling suka menanam berbagai jenis pisang. Banyak jenis pohon buah ada di sini. Alpokat, Jambu Air, jambu Merah, Duku, Sirsat dan manggis .  Buah apel juga ada. 
“Mbak, memang kenapa tow… Mbak Fifi kok bisa seperti itu? Tadi aku lihat dia di jalanan sepanjang Salatiga-Macanan?” Nurma memulai pertanyaan tentang si Fifi.
“Belum tahu tow? Dia itu kecewa berat dengan bapaknya. Uang yang ia kirim dari Saudi ludes. Padahal dia hanya ingin melihat rumah orang tuanya dibangun dan menjadi bagus. Uang entah ke mana. Mungkin telah dibelikan sawah ladang.”
“Berarti ceritane dia itu stress ya, Mbak?”
“Ya begitulah kira-kira. Padahal dia berencana, setelah rumah bagus, dia ingin melangsungkan pernikahan dengan jejaka pencuri hatinya.”
“Belum diobatkan ya, Mbak?”
“Yo sudah tow, tapi si Fifi pulang sendiri. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa. Sepertinya ada yang membantunya dari dalam.”
“Wach… kasihan sekali. Dia kan sangat berprestasi.” Nurma sudah mengetahui semua penyebab sakitnya Fifi. Dia hanya menyayangkan sikap ayahnya yang otoriter. Mengapa ayahnya tega berbuat itu pada anak kandungnya sendiri.
Mbak Titi menambahkan ceritanya tentang Fifi. Saat itu dia bicara sendiri menuntut ayahnya untuk mengembalikan semua uang yang telah dikirimnya. Dia bicara keras dan berulang-ulang. Sehingga sekarang semua orang di kampung ini bahkan di luar kampung mengetahui keadaan Fifi yang sebenarnya. Kakak Nurma menirukan ungkapan Fifi kala itu.
 “Kembalikan uangku… kembalikan uangku… kau tahu kan? Uang itu akan kubuat bangun rumah…biar cantik, indah dan sedap dipandang mata. Lalu… aku mau nikah dengan mas Ilham… Uangku mana? Mana uangku?”  Fifi masih bicara sendiri. Orang yang memandangnya merasa aneh dengan penampilannya yang nganeh-anehi. Dia stress berat bahkan dikatakan sebagai orang gila oleh sebagian orang.
"Hi hi hi..., ha ha ha ...." tawanya lepas. Namun, ada kalanya menangis meraung-raung tak ketulungan sambil berlari ke sana ke mari tak karuan.

***
Hari berganti hari, keadaan Fifi bukanlah membaik tetapi sebaliknya. Dia diam... dengan tatapan kosong. Semakin lama semakin menjadi. Tertawa cekikikan sendiri dan bicara sendiri. Mula-mula tidak mengamuk, namun lambat laun  mengamuk berat. Aktivitasnya menggegerkan dan menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi warga kampung. Melihat kondisi yang demikian pihak perangkat desa membawanya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ ) di Magelang. Namun, ternyata, dia bisa keluar dari RSJ dan jalan-jalan entah kemana. Lelah juga pihak perangkat mengurus dirinya.
Masyarakat ikut prihatin dan mendoakan Fifi agar membaik dan pulih seperti sedia kala. Sebab apabila ditilik dari sejarah, dia tidak memiliki saudara yang punya penyakit seperti itu. Dia lahir dan tumbuh dari keluarga baik-baik, tidak ada masalah dan semuanya normal. Hanya satu penyebabnya yaitu rasa kecewa yang mendalam atas gagalnya dia dalam merenovasi rumah orang tuanya. Sementara orang tuanya terutama ayahnya sangat keras dan tidak mau tahu dengan kondisi anaknya yang seperti itu.
***
Semuanya dapat dijadikan pelajaran. Tentang sikap orang tua yang otoriter tentunya tidak baik bagi perkembangan jiwa anak. Pentingnya keterbukaan dalam memecahkan suatu masalah. Kalau sudah begini. Siapa yang salah? Nasi sudah menjadi bubur. Fifi sekarang sudah tidak diketahui lagi dimana rimbanya. Sudah puluhan tahun menghilang tidak berbekas. Sayang sekali sang kembang desa mengalami nasib yang tragis. Pesona sang kembang desa telah pudar, seiring waktu yang terus berjalan.

Posting Komentar

 
Top