0

 


Arti kata sekolah

                Pernah tidak terpikirkan oleh kita tentang asal usul kata sekolah didapat dari mana? Secara etimologi, istilah sekolah dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin, yaitu schola yang secara harfiah bermakna “waktu lapang” atau “waktu senggang”. Bahasa Inggris mengadopsi schola menjadi school. Dahulu, orang Yunani dalam mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi sesuatu tempat atau seseorang yang bijaksana untuk bertanya atau mempelajari hal-hal maupun perkara yang mereka rasa perlu diketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah scola, skhole, scolae atau schola

                Ditempat itulah anak-anak mengisi waktu luang mereka, anak-anak boleh bermain, belajar atau berlatih melakukan sesuatu apa saja yang mereka senangi untuk dipelajari sampai saatnya mereka kembali ke rumah menjalankan kehidupan pada lazimnya. Dari sini kita bisa memahami bahwa sekolah adalah tempat mengisi waktu luang anak-anak setelah menjalankan kehidupan lazim di rumahnya. Ditempat scola anak-anak bermain, berlajar dan berlatih sebagai hiburan jeda kegiatan rutin di rumah. Sekolah adalah tempat mengembangkan bakat, minat, rasa “ceria” untuk belajar, menjadi manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan berasa bebas untuk menjadi manusia yang diinginkan.

                Menilik sekolah saat ini, terdapat jawaban dari seorang anak bahwa apa yang dipikirkan saat mendengar kata sekolah, tak disangka anak tersebut menjawab sekolah adalah penjara. Hal ini bukan berarti kita dapat menggeneralisasi jawaban anak tersebut, tetapi menjadi pijakan berpikir kita, jangan-jangan kita telah berperan menciptakan image sekolah menjadi sebuah tempat yang menakutkan, tempat yang memenjara keinginan anak-anak, tempat mengurung bakat dan minat mereka, sehingga tidak muncul dan berkembang potensi dan talentanya. Sekolah menjadi tempat pemaksaan untuk mengikuti kurikulum tertentu secara rigid, yang akhirnya bisa menimbulkan “kebencian” dan kebosanan untuk belajar.

Mengadopsi prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara

                Kita mengenal sistem pendidikan terbaik di dunia seperti negara Finlandia. Uniknya Finlandia tidak mengenal tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, tetapi nilai-nilai ajarannya sangatlah mirip seperti apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Salah satu contoh ajaran beliau yaitu “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi.

Ki Hadjar Dewantara berpendapat dalam bukunya “Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, tak mungkin pendidik ‘mengubah padi menjadi jagung’, atau sebaliknya.” Sebuah konsep yang sama, diterapkan di Finlandia maupun negara maju lainnya, menganggap standarisasi kaku dan berlebihan merupakan musuh kreativitas. Bahwa pendidikan seharusnya menuntun segala kekuatan kodrat pada anak agar selamat, bahagia, dan bermanfaat bagi sesama.

Ajaran beliau yang lain yaitu “Bermain adalah tuntutan jiwa anak untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani.” Maka saya mengartikan pendidikan selalu menekankan bahwa anak-anak harus bermain. Contoh kecil saja sebuah praktik sederhana di Finlandia, anak-anak tidak pernah diberi PR, mereka harus menjadi anak, menjadi remaja, untuk menikmati hidup. Kodrat anak adalah bermain, maka pendidikan harus menyenangkan. Kegiatan bermain akan memantik abstract thinking, problem solving, juga mengajarkan kepada anak-anak untuk mencari strategi dan akhirnya pembelajaran aktif (active learning) dengan sendirinya berjalan.

Menurut Ki Hajar Dewantara pandangan filosofis pendidikan seperti filosofis padi, bahwa padi merupakan hasil dari bagian suatu kebudayaan, baik secara adab maupun barang yang dihasilkannya. Menurut beliau pertumbuhan padi ditentukan oleh perlakuan petani yang mengolah lahan dan menjaga tumbuhnya padi sampai dapat dipanen. Petani memiliki usaha, berinovasi, daya dan upaya, untuk menjaga kelansgungan padi tumbuh dan menghasilkan. Layaknya sebuah sistem pendidikan, guru yang menyebarkan benih padi, tidak bisa memaksakan tanaman padi menjadi tanaman lainnya. Juga tidak boleh membedakan dari mana asal benih padi, pupuk, dan hal lainnya. Semua memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, demikian dengan anak-anak tumbuh berkembang menjadi anak yang cerdas atas kemauannya sendiri.

Pendidikan adalah persemaian benih-benih talenta dan kebudayaan melalui penciptaan ekosistem yang menyenangkan, aman, dan kondusif. Mengajarkan sesuatu sesuai kebutuhan anak, rekognisi passion dan bakat yang beragam dari anak. Hal- inilah yang hilang dari sistem pendidikan kita.

 Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak,  bukan untuk meminta sesuatu hak, melainkan untuk berhamba pada sang anak.” Student centered yang menjadi point kurikulum dalam pendidikan sekarang ternyata sudah disampaikan oleh Ki Hajar puluhan tahun lalu. Istilah yang Beliau pergunakan adalah "berhamba pada sang anak,"

Metode Among, tercermin di semboyan Tut Wuri Handayani, adalah metode yang berhamba pada sang anak. Bapak Pendidikan kita sejak tahun 1922 sudah mengenalkan dan mengajarkan kita bangsa Indonesia tentang filosofi pendidikan yang berpusat pada peserta didik. Hal seharusnya tidak asing bagi semua pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia.

Sebagai seorang pendidik harus mampu meberi tuntunan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak secara budi melalui rasa, cipta, karsa, dan pekertinya, sesuai dengan kodrat anak. Beliau menghantarkan anak tidak hanya bertumpu pada ketajaman pikiran, kehalusan rasa, dan kekuatan kemauan, tetapi juga pada kebijaksanaan. Hal ini mengandung arti bawah pendidikan tidak hanya penekanan pikiran saja tanpa melihat lingkungan sosial anak. Pendidikan yang mengeksplorasi DNA genetik manusia, yakni kemampuan beradaptasi, berimajinasi, dan berkolaborasi secara luas. Hal inilah yang harusnya dikembangkan dalam pendidikan, agar anak mampu tumbuh kembang sesuai dengan perkembangan usia dan mentalnya, menuju kepada talenta dan versi terbaik menurut anak.

Ekosistem belajar yang berpusat pada manusia

                Manusia itu beragam, sehingga lingkungan belajar perlu diciptakan untuk mewadahi keberagaman itu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan telah komitmennya untuk memajukan ekosistem pendidikan di Indonesia dengan melahirkan agen-agen perubahan yang berpusat kepada peserta didik.

                Ekosistem sekolah merepresentasikan kehidupan nyata dimana siswa dapat mempelajari keterampilan hidup yang relevan. Sementara teknologi virtual digunakan untuk mendukung pembelajaran di dunia nyata, sehingga siswa mampu menemukan referensi yang lebih banyak.

`Bisa jadi sekolah itu ibarat hutan, sebuah ruang terbuka dengan segala kondisi dan sisi didalamnya. Anak berinteraksi langsung dengan alam, merasakan kondisi alam dengan seluruh indera mereka. Hutan dapat mengasah indera. Saat keluar, coba rasakan, dengarkan, dan cium baunya.

Sekolah seperti bengkel, tempat dimana peserta didik dapat menemukan insting penemuan, membuat, membangun, dan menciptakan sesuatu. Sebuah sekolah seharunya menjadi tempat dimana peserta didik dapat menemukan insting penemuan, membuat, membangun, dan menciptakan sesuatu dengan senang dan gembira.

Sekolah juga bisa seperti dapur, dimana para peserta didik dapat mencoba berbagai resep, melakukan eksperimen, tidak takut gagal, menjalani proses belajar dengan antusias dengan proses berulang aksi-antisipasi-refleksi. Peserta didik tertantang untuk bereksperimen tidak takut gagal, dan ingin melakukan lagi dan lagi dengan kondisi yang fleksibel.

Bahkan sekolah laksana studi musik, yang didalamnya terdapat harmoni indah, alunan yang yang merdu dari berbagai sumber alat musik yang berkolaborasi, terdapat usaha, ketekunan, daya juang dengan passion untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Penciptaan ekosistem belajar baik fisik maupun non fisik yang mampu memberi layanan sesuai kebutuhan peserta didik, sehingga mampu memantik talenta terbaiknya dengan segala potensi yang mendukung didalam sekolah. Sekolah laksana taman, peserta didik merasa nyaman, merasa betah, merasa sedang berada di rumahnya, merasa sedang berada di dunianya, bukan tempat yang membosankan, mengerikan, bahkan dianggap sebagai penjara.

bahan bacaan :

https://www.aswajadewata.com/konsep-merdeka-belajar-ki-hajar-dewantara/2019/,.

https://www.kompasiana.com/iwansyahril/5ae9d72816835f7afb296792/menuju-sistem-pendidikan-yang-berhamba-pada-sang-anak 

paparan materi workshop Gerakan Sekolah Menyenangkan, Novi Poespita Chandra, PhD 

Posting Komentar

 
Top