Kebijakan MERDEKA BELAJAR yang
dicanangkan oleh Mas Menteri Nadiem pada tahun 2020 diteruskan pada periode
2021. Pada episode pertama ditetapkan empat pokok program kebijakan Merdeka
Belajar, diantaranya menghapus UN (Ujian Nasional), USBN (Ujian Sekolah
Bertandar Nasional), Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan
mengatur kembali Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Episode kedua Merdeka Belajar yaitu
Kampus Merdeka. Pembukaan program studi baru, sistem akreditasi perguruan
tinggi, perguruan tinggi berbadan hukum, dan hak belajar 3 semester di luar
program studi. Sedangkan untuk episode ketiga, kementerian mengubah mekanisme
dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk tahun anggaran 2020. Sementara
epsidoe merdeka belajar yang ke empat yaitu Program Organisasi Penggerak (POP)
yang memberdayakan kelompok masyarakat dalam membangun sekolah penggerak. Guru
Penggerak adalah program merdeka belajar episode kelima, arah kebijakannya
berfokus pada pedagogi, serta berpusat pada peserta didik secara holistik,
pelatihan yang mengembangkan kepemimpinan instruksional dengan pendekatan on
the job coaching oleh pelatih guru penggerak.
Sedangkan untuk tahun 2021, Mas
Menteri menyampaikan Merdeka Belajar pada
delapan prioritas diantaranya : KIP Kuliah dan KIP Sekolah, Digitalisasi
sekolah, Prestasi dan penguatan karakter, Guru penggerak, Kurikulum baru,
Revitalisasi pendidikan vokasi, Kampus merdeka, dan Pemajuan kebudayaan dan
bahasa.
Sebagai pendidik, semua program yang
telah dicanangkan tentunya disikapi dengan positif dan mempercayai akan memberi
dampak yang baik bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dalam sebuah diskusi
disela memberi materi sosialsaisi tentang Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)
terlontar kalimat; Sudahkah kita sebagai
pendidik merdeka belajar? Sudahkah anak didik kita merdeka belajar ?
Pertanyaan sederhana yang dapat kita pahami daripada memahami program-program
Kementerian tentang Merdeka Belajar.
Ada tanggapan dari seorang peserta
sosialisasi di sebuah sekolah bahwa menjadi pendidik yang paling penting adalah
bagaimana yang dilakukannya itu berdampak positif bagi anak didiknya. Guru
lainnya menambahkan, yang paling penting gurunya dulu harus merdeka sebelum
memberi kemerdekaan belajar bagi anak didik. Bagaimana bisa memberikan
kemerdekaan belajar bagi anak didik kalau gurunya masih merasa terbelenggu
dengan hal-hal yang tidak substansi.
Salah satu guru di sekolah lain,
dalam kegiatan yang sama juga menceritakan, bahwa selama ini beliau mengajar bahkan
dihari pertama masuk sudah langsung menyampaikan materi-materi yang telah
disusun dalam program semester. Saya menimpali, “jika demikian betapa stressnya
anak-anak ya, dihari pertama sudah menerima beban kejut.”
Ketika saya, berada di grup-grup
online guru, salah satunya adalah grup mata pelajaran, yang saya lihat disana
selalu menanyakan sudah adakah modulnya, yang punya RPP dishare dong, yang
punya silabus ini itu, atau bahkan sampai ke minta soal-soal ulangannya. Saya
merasakan seakan tidak bisa mengajar jika tidak ada modul, tak akan bisa
mengajar jika tak ada RPP, bukannya RPP dibuat oleh guru itu sendiri karena pelaksananya bukan orang lain. Apalagi tentang meng-copy soal-soal ulangan, kalo itu hanya dijadikan rujukan sih tak
masalah, tetapi yang menjadi masalah kalo soal hasil copy itu diujikan kepada anak didiknya, yang tentunya memiliki
karakter dan kemampuan yang berbeda dengan anak didik yang membuat soal. Belum lagi kalo mau ujian harus membagikan kisi-kisi ujian, yang fatalnya lagi, mau ujian soalnya ya dibagikan sekalian agar nilai anak-anaknya bagus semua (dilihat oleh guru lain).
Sebagian pendidik masih menganggap
akhir dari pendidikan di ruang-ruang kelas adalah sebuah nilai berupa angka,
yang menandakaan kualitas dan keberhasilan dari proses pembelajaran tersebut.
Hal ini adalah miskonsepsi yang harus dipecahkan agar kita dan anak didik kita
tidak menganggap mereka belajar adalah untuk tujuan nilai tersebut. Pendidik
harus mampu meyakinkan bahwa sejatinya belajar adalah proses yang panjang dan
tak akan pernah berhenti hanya pada titik pemberian nilai saja.
Narasi Merdeka Belajar dengan
komponen program-program yang spektakuler yang telah diluncurkan, jika belum
mampu merubah miskonsepsi mendasar tentang arti kemerdekaan itu sendiri,
alhasil belum memberikan dampak secara kuat pada pondasi pendidikan di
Indonesia. Kajadian yang akan terus berulang dengan program-program pemerintah
dengan mata anggaran dari APBN yang tidak sedikit, hanya mampu menyentuh
permukaan dari filosofis pendidikaan yang diletakkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar
Dewantara, belum sampai kepada inti kemerdekaan itu sendiri.
Jika pendidik belum mampu
memerdekakan diri sendiri, selalu mengalami proses menunggu perubahan tanpa mau
merubah diri sendiri, jika masih takut berubah karena tidak tahu kondisi masa
depan, jika masih orientasi keberhasilan belajar adalah berupa angka-angka
nilai, jika masih sibuk mengurusi adminstrasi pembelajaran yang lengkap dan
bagus tanpa memberikan layanan terbaik untuk anak didiknya, jika masih mendidik
agar menyenagkan orang tua dan kepala sekolah saja, jika masih terjerat beban
administrasi, jika masih beranggapan belajar untuk mencari pekerjaan, jika guru masih
berperan sentral dalam proses belajar anak, apalagi pendidik hanya memaknai profesinya sebagai sebuah pekerjaan dengan menjalankan pekerjaanya dan menunggu hasil gaji. Maka program Merdeka Belajar yang
spektakuler tadi hanya akan berlalu saja tanpa membekas secara substansial. Karena
kemerdekaan belajar itu terjadi dan diukur dalam ruang-ruang kelas ketika
proses interaksi antara pendidik dan anak didik melakukan kegiatan belajar.
Kenyataan dunia disegala lini yang
semakin kapitalistik, termasuk dalam dunia pendidikan, akan menjadi ancaman
jika proses pendidikan hanya menyiapkan generasi penerus bangsa untuk
diproduksi menjadi tenaga kerja siap pakai, ibarat robot yang sedang diprogram
untuk menjalankan perintah-perintah algoritma.
Bagaimana pendidikan tidak ikut terjebak pada kapitalisasi, agar peserta
didik mampu beradaptasi, tidak melulu pada persoalan keterampilan siap kerja,
tetapi juga yang memiliki pengetahuan logis dan analitis untuk menghadapi dunia
yang ambiguitis dan kompleks.
Maka, peran pendidik sangatlah
sentral dalam memaknai kemerdekaan belajar, mengubah pola pikir adalah hal
pertama yang harus dilakukan. Pola pikir bahwa pendidik menjadi satu-satunya dalam
mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan sudah tidak relevan lagi, tetapi peran
pendidik tetaplah penting dalam proses belajar mengajar di sekolah sebagai fasilitator dan motivator. Agar anak
didik kita merasa merdeka dalam belajar, maka para pendidik harus merdeka
dahulu sebelum dan saat mengajar. Pendidikan yang memerdekakan pendidik agar setiap anak didiknya memilih menjadi apa saja sesuai potensi, bakat, dan talenta terbaiknya.
bahan bacaan : https://www.kompas.com/edu/read/2021/01/06/065358771/mendikbud-nadiem-8-program-prioritas-merdeka-belajar-di-tahun-2021?page=all
Terkekang betul serasa pendidikan di negeri ini pak... salam dari hapus akun trakteer
BalasHapus