Seperti biasanya, Jihan berkumpul dengan teman sebayanya
untuk bermain bersama. Kadangkala main loncatan, petak umpet, bekelan,
jamuran dan nyanyi dolanan. Ada si Rokhayah yang gemuk tapi lucu abis, Tini
yang centil namun perasa, Erna yang sok pinter dan pedenya kelewatan, ada juga
Ipah yang cerewet abis. Mereka memang unik. Namun, justru perbedaan dan
keunikan yang ada tadi menambah aroma persahabatan terasa begitu kental.
Sekental susu kental manis kali ya? Mereka bagaikan satu keluarga yang utuh.
“Main jamuran, yuuk?” suara Jihan memecah kesunyian. Kontan semua
teman sebayanya yang sudah ngumpul di halaman Mbah Parmi nan luas dan asri
menganggukkan kepala tanda setuju. Permainan dan lagu jamuran kali ini
berlangsung sangat meriah. Bersahut-sahutan sambil berjalan melingkar. Tak
pernah lepas senyuman di sepanjang permainan nan menyenangkan.
Namun, ada lagi kejadian asyik yaitu nembang bersama selepas bermain. Seakan baru show di arena konser anak-anak, mereka
menyuguhkan kebolehannya bernyanyi dengan tampilan yang super prima. Wow,
keren, tidak kalah dengan ajang Indonesia Mencari Bakat ( IMB) versi Trans TV,
sedangkan lagu yang mereka pilih adalah Sepuran
“ Sinten numpak sepur lunga nyang Kediri
Wong niki sepur dhur bayare setali
Sapa trima nggonceng konangan kondektur
Yen didhendha kenceng napa boten kojur
Sinten numpak sepur lunga dhateng Nganjuk
Sinten pingin dhuwur aja seneng umuk”
Tembang dolanan tersebut sangat popular di masa kecil Jihan.
Hampir semua anak sangat menikmati dan menyukainya. Di jalan, di sawah, di
sekolah dan di mana-mana enak untuk didendangkan oleh berbagai kalangan
masyarakat. Lagu yang sederhana banyak disukai oleh masyarakat Jawa. Walau
berbau jenaka nan sederhana, sesungguhnya ada pesan moral yang baik. Pas sekali
dengan teori perkembangan untuk anak-anak, agar pesannya nyambung, inhern in the heart.
Tidak terasa semua berjalan begitu cepat, waktupun beranjak senja,
akhirnya, saat maghrib pun tiba juga, suara adzan berkumandang nan merdu,
memanggil jamaah untuk sejenak menghadap Rabb, Sang Khaliq, Penguasa jagad
raya. Hingga akhirnya mereka berhamburan dan pulang ke rumah masing-masing.
Masa kecil di desa memang penuh kenangan. Selain menghabiskan waktu dengan
bermain, Jihan juga belajar mengaji dan hafalan Al-Qur-an di desanya yang kuat
keagamaannya. Kadangkala, belajar hafalan diselingi lagu-lagu macapat. Dari
pamannyalah, Jihan akhirnya dapat menghafalkan semua jenis tembang macapat dan
pernah mendapatkan beberapa kejuaraan nyanyi Jawa. Masa kecil memang penuh
kenangan yang indah, lucu, bahagia, kesal menjadi satu, yang semuanya tidak
mungkin dapat dilupakan selamanya. Kenangan masa kecil telah terukir di hati
sanubarinya sampai kapanpun.
“Hai…ngapain kamu bengong di sini! nunggu siapa, cowokmu ya?”
Sipah tiba-tiba muncul di depan Jihan yang sedang duduk terpaku di terminal
Ambarawa. Lamunannya di masa kecil buyar seketika.
“Kau Pah, mengapa kau juga di sini?
“Iya, aku sudah dari tadi kok di terminal ini.”
“Aku lagi nunggu teman kita dulu, Si Tini, masih ingat kan? dia
mau ke rumahku, tapi kutunggu dari tadi kok belum nongol juga,” kata Jihan
sambil memencet-mencet telepon genggamnya.
Terik mentari pas di atas kepala, Jihan manyun ditemani Ipah,
teman masa kecilnya, sambil terus memandangi lalu
lalang kota Ambarawa di siang itu nan ramai dan semrawut. Entah sudah berapa
banyak bus, truk, sepeda motor yang melintas di jalan utama Ambarawa tersebut.
Berjam-jam mereka menghabiskan waktunya untuk menunggu
temannya, tapi sia-sia. Harapan Jihan sirna untuk bisa bertemu Tini,
sahabat karibnya. Ia ingin sekadar melepas kangen setelah bertahun-tahun tak
bertemu. Selain itu ia ingin menghilangkan penat dan rasa bosan yang menderanya
akhir-akhir ini. Banyak masalah yang berkecamuk di dalam dadanya. Ingin sekali
dia menumpahkan semua uneg-unegnya saat itu. Namun, sahabatnya tak
jua datang. Jihan jadi resah dan gelisah. Kegelisahannya sudah sampai
pada titik kulminasi atau klimak.
“Kepada siapa lagi aku berkeluh? Rumput yang bergoyangkah? Awan
yang berarak di langitkah? Ataukah pada bebatuan hitam yang membisu?” guman
lirih Jihan. Semua itu membuat hatinya terasa makin remuk redam.
“Aduuh, Han, kok masih bengong kan sudah ada aku di sisimu,” suara
Ipah sambil menggelitiki pinggang Jihan.
“Ah, kamu itu bikin aku geli, Nih rasain, balasan
untuk orang yang suka goda orang lain,” Jihan mencubit pipi Ipah.
Sudah
terbiasa dengan perilaku sahabatnya itu, keduanya kemudian tertawa lepas.
Melepaskan beban-beban berat yang dirasakannya selama ini. Rasanya senang
sekali, dadanya yang sesak kini terasa plong,
“Ipah, kamu memangnya dari mana?” pertanyaan Jihan meluncur dari
bibir tipisnya. Yang ditanya hanya cengar cengir menimbulkan rasa penasaran.
“ Hayo tebak kawan, aku dari mana?”
“Lho,
gimana ini ditanya malah ganti nanya, memang jeruk makan jeruk apa?“
“Oke, aku akan menjawabnya kawan, tapi bagaimana kalau kita ke Museum
Kereta Api Ambarawa saja sekalian mengusir gundahmu dan mencari udara segar?”
“Tapi kalau
Tini datang bagaimana?”
“Ah,
gampang, kan dia pasti telepon kamu,” kata Ipah sambil menggadeng Jihan.
Keduanya
setuju dan segera meluncur ke lokasi yang terletak tidak jauh dari pusat kota
Ambarawa.Tiba di lokasi, tepat di pintu masuk mereka menikmati pemandangan yang
ada. Di sana terlihat koleksi utama museum berupa 21 loko uap yang diletakkan
di tempat terbuka, menyebar di bawah rimbunnya pepohonan yang menghijau. Sejuk
dan segar memancar dari rimbunnya pepohonan yang tertata rapi.
“Ayo, Jihan jalan sini, malah bengong di situ, memang
ada masalah apa dari tadi wajahmu kok muram
“Di mana keceriaan yang menjadi trade
markmu kau simpan, di Rawa
pening atau di Gunung Telomoyo?”Lagi-lagi Jihan mencubit lengan sahabatnya itu
sambil berjalan menikmati rumput-rumput hijau yang seakan mengucapkan selamat
datang pada mereka berdua.
“Tidak bengong kawan, aku baru memikirkan tentang keperkasaan
kereta api itu di masa lalu, saat itu kereta api memegang peranan penting dalam
perhubungan dan peperangan. Lihat dan perhatikan si hitam legam itu! Sudah
berumur ratusan tahun yang lalu, tapi masih perkasa, kuat dan luar biasa, “
kata Jihan sambil mengambil kamera untuk berpose bersama.
“Hebat, hebat, sahabatku tetap hebat seperti dulu, cocoknya kamu
itu jadi ahli sejarah, kau masih seperti yang dulu ya, cerdas dan tak mau diam
diri, otakmu selalu encer seperti profesor saja.”
“Bukan profesor, tapi penyanyi ,“ jawab Jihan sekenanya saja.
Keduanya kembali bersendau gurau dan tertawa sambil terus berjalan
menyusuri seluruh sudut museum. Orang-orang yang ada di sekeliling museum
sampai heran dan bengong sendiri dengan tingkah polah ini. Keakraban yang lama
hilang, kini kembali lagi. Sahabat lamanya mampu mengharubirukan suasana
batinnya dengan candaan dan kata-kata menggelitik yang keluar dari bibirnya.
Indahnya sore di museum kereta api Ambarawa, seindah persahabatan yang telah
terjalin dan terpatri di hati sanubari.
‘’ Ipah,
kita lanjut ke sini saja ya, di tempat ini kita dapat melihat bangunan tua
seperti lokomotif dan gerbong kereta berfungsi sebagai kantor stasiun. Di
sinilah, tamu akan disambut oleh petugas. Fungsinya adalah sebagai ruang pamer
berbagai kekayaan museum yang ada, tempat menyimpan beberapa koleksi museum.
Koleksi yang dimaksud adalah berupa pesawat telepon kuno, mesin ketik, mesin
hitung, mesin telegram, stempel, karcis hingga beragam topi masinis pada masa
lalu tentunya. Indah semua kan? Wow menarik sekali barang-barang disini ,lihat
! disana juga ada foto-foto yang bagus juga.” Jihan tak henti bicara kaya guide
saja.”
“Hem,
ternyata Indonesia kaya segalanya ya?’’tiba-tiba Ipah ngomong sendiri.
“ Ya, tetapi
kurang perawatannya, dan ini menjadi tugas kita sebagai generasi muda untuk
merawat, melestarikan dan menyebarkan informasi pada masyarakat untuk mencintai
budaya sendiri.”
Mereka terus
berjalan dan bergandeng tangan menikmati indahnya Museum Kereta Api Ambarawa.
Sesekali mereka menikmati camilan yang dibelinya di warung sebelah museum, roti
better dan gorengan kesukaannya. Mereka menikmati persahabatan yang telah
terbina di sore itu.
Di sisi kiri kanan bangunan berjajar kursi tua yang nyaman untuk
menikmati segarnya angin sore.
“ Lihat Pah, lihat itu! mereka asyik ya?”. Sekelompok anak
lelaki sedang asyik bermain bola di antara rel lokomotif tua dan lori wisata.
‘’ Kita ikutan yuk?”. Ajakan Ipah, dijawab spontan oleh
Jihan, “ Kau ini ada-ada saja tow, saya kan paling tidak bisa olah raga,
bisanya olah vocal.”
“ Oh… ya, ya, aku sampai lupa. Kau itu kan sebenarnya mau jadi
Yati Pesek II tapi tidak dapat restu ortu, sekarang malah jadi
pesinden Sunyahni.”
“ Ha… ha… ha… ha,“ Keduanya kembali menebar tawa untuk yang
kesekian kalinya. Lucu, sungguh indah pertemuan di sore itu.
“ Sayang ya, kita tidak bisa menikmati kereta wisata kali
ini,” Ipah mulai bicara lagi. “Nggak apa-apa suatu saat kita bisa ke sini lagi,
kapan-kapan ya?’’sahut Jihan.
Saat liburan tiba liburan, akhir pekan atau kunjungan wisatawan,
kereta lori wisata dengan kapasitas 15 – 20 penumpang akan dijalankan menyusuri
rel Ambarawa – Tuntang, dengan tarif Rp 10.000,- Mata pengunjung akan
dimanjakan keindahnya lengkap dengan pemandangan alam, sawah, ladang nan luas
menghampar di sepanjang perjalanan dengan latar belakang gunung Ungaran, gunung
Merbabu dan Rawa Pening. Hanya sekitar 7 km saja, tetapi begitu berkesan bagi
para penikmat alam raya.
“ Indah tanah airku
Indonesia Raya pujaan bangsaku
Tanah airku yang kaya raya
Dengan pemandangan alamnya”
Suara Jihan memecah kesunyian yang ada. Kegalauan yang ia rasakan
terlupakan sejenak. Sebuah nyanyian keroncong yang memuja keindahan dan
kekayaan Indonesia meluncur dari bibirnya.
“ Wah, suaramu keren abis kawan, kok nggak ikutan lomba di Jakarta
saja to?”
“Menghina kau ya, nggak apa-apa, tapi sesama kawan dilarang
saling menghina,” gurau Jihan dengan tersenyum mesra.
Diantara keheningan suasana museum, tiba-tiba ponsel yang berada
di tas mungilnya berbunyi agak keras, segera Jihan mengambil dan membaca
siapa yang calling di sore ini.
“ Assalamualaikum, “ suara laki- laki agak parau terdengar
di HP nya
“Waalaikum salam, ada apa kok kamu tumben nelpon aku?” ganti Jihan
balik bertanya dengan gemetar karena yang telepon ternyata kakaknya Tini, yang
pernah dikenalnya.
“ Ada
berita yang harus saya sampaikan,” lanjut Gito, kakak Tini bergetar
“ Ada apa
cepat katakan!” hati Jihan deg- degan.
“Ehm… anu,
Han…,” Lanjut Gito terputus-putus
“ Aduuh
kenapa sih… pakai anu-anu segala, kamu ini suka bercanda!”
“ Tabahkan hatimu, Han bahwa si Tini tadi siang
terserempet mobil saat mau menyebarang dan….,” suara Gito terputus-putus
“ Gak
apa-apa kan, terus sekarang dirawat di rumah sakit mana?” Jihan penasaran
“ Dia… dia…
tak tertolong lagi, ia telah menghadap Allah, Swt.”
“ Apa…..?!”
Jihan menjerit.
Segera
Jihan melafalkan kalimat tarjik dengan lembut, “Inna lillahi wainna
ilaihi rojiun, semua adalah
milik Allah dan akan kembali kepadaNya.” Air mata Jihan menganak sungai,
mengalir dan membasahi kedua belah pipinya yang bulat. Ia lunglai
badannya seolah tak bertulang lagi. Jihan pingsan. Senja pun berganti malam,
mendung bergelayut di langit..
( Cerpen
bisa dibaca di Buku Antologi Ambarawa di Ujung Pena Tahun 2013)
Posting Komentar