0

Semburat merah terlihat di langit nan indah. Angin sore berhembus begitu lembut menyentuh tulang-tulang rusuk. Sayup-sayup terdengar celoteh bocah-cocah mungil nan lucu yang  berlarian ke sana ke mari dengan riangnya. Tak habis-habisnya senyum manis mengembang di bibir penuh keceriaan. 
 Seperti biasanya, Jihan berkumpul dengan teman sebayanya untuk bermain bersama. Kadangkala main loncatan,  petak umpet, bekelan, jamuran dan nyanyi dolanan. Ada si Rokhayah yang gemuk tapi lucu abis, Tini yang centil namun perasa, Erna yang sok pinter dan pedenya kelewatan, ada juga Ipah yang cerewet abis. Mereka memang unik. Namun, justru perbedaan dan keunikan yang ada tadi menambah aroma persahabatan terasa begitu kental. Sekental susu kental manis kali ya? Mereka bagaikan satu keluarga yang utuh.
“Main jamuran, yuuk?” suara Jihan memecah kesunyian. Kontan semua teman sebayanya yang sudah ngumpul di halaman Mbah Parmi nan luas dan asri menganggukkan kepala tanda setuju. Permainan dan lagu jamuran kali ini berlangsung sangat meriah. Bersahut-sahutan sambil berjalan melingkar. Tak pernah lepas senyuman  di sepanjang permainan nan menyenangkan. Namun,  ada lagi kejadian asyik yaitu nembang bersama selepas bermain. Seakan baru show di arena konser anak-anak, mereka menyuguhkan kebolehannya bernyanyi dengan tampilan yang super prima.  Wow, keren, tidak kalah dengan ajang Indonesia Mencari Bakat ( IMB) versi Trans TV, sedangkan lagu yang mereka pilih adalah Sepuran
“ Sinten numpak sepur lunga nyang Kediri
Wong niki sepur dhur bayare setali
Sapa trima nggonceng konangan kondektur
Yen didhendha kenceng napa boten kojur
Sinten numpak sepur lunga dhateng Nganjuk
Sinten pingin dhuwur aja seneng umuk”
Tembang dolanan tersebut sangat popular di masa kecil Jihan. Hampir semua anak sangat menikmati dan menyukainya. Di jalan, di sawah, di sekolah dan di mana-mana enak untuk didendangkan oleh berbagai kalangan masyarakat. Lagu yang sederhana banyak disukai oleh masyarakat Jawa. Walau berbau jenaka nan sederhana, sesungguhnya ada pesan moral yang baik. Pas sekali dengan teori perkembangan untuk anak-anak, agar pesannya nyambung, inhern in the heart.
Tidak terasa semua berjalan begitu cepat, waktupun beranjak senja, akhirnya, saat maghrib pun tiba juga, suara adzan berkumandang nan merdu, memanggil jamaah untuk sejenak menghadap Rabb, Sang Khaliq, Penguasa jagad raya. Hingga akhirnya mereka berhamburan dan pulang ke rumah masing-masing. Masa kecil di desa memang penuh kenangan. Selain menghabiskan waktu dengan bermain, Jihan juga belajar mengaji dan hafalan Al-Qur-an di desanya yang kuat keagamaannya. Kadangkala, belajar hafalan diselingi lagu-lagu macapat. Dari pamannyalah, Jihan akhirnya dapat menghafalkan semua jenis tembang macapat dan pernah mendapatkan beberapa kejuaraan nyanyi Jawa. Masa kecil memang penuh kenangan yang indah, lucu, bahagia, kesal menjadi satu, yang semuanya tidak mungkin dapat dilupakan selamanya. Kenangan masa kecil telah terukir di hati sanubarinya sampai kapanpun.
“Hai…ngapain kamu bengong di sini! nunggu siapa, cowokmu ya?” Sipah tiba-tiba muncul di depan Jihan yang sedang duduk terpaku di terminal Ambarawa. Lamunannya di masa kecil buyar seketika.
“Kau Pah, mengapa kau juga di sini?
“Iya, aku sudah dari tadi kok di terminal ini.”
“Aku lagi nunggu teman kita dulu, Si Tini, masih ingat kan? dia mau ke rumahku, tapi kutunggu dari tadi kok belum nongol juga,” kata Jihan sambil memencet-mencet telepon genggamnya.
Terik mentari pas di atas kepala, Jihan manyun ditemani Ipah, teman masa kecilnya, sambil terus     memandangi lalu lalang kota Ambarawa di siang itu nan ramai dan semrawut. Entah sudah berapa banyak bus, truk, sepeda motor yang melintas di jalan utama Ambarawa tersebut.
Berjam-jam mereka  menghabiskan waktunya untuk menunggu temannya, tapi sia-sia. Harapan Jihan sirna untuk bisa  bertemu Tini, sahabat karibnya. Ia ingin sekadar melepas kangen setelah bertahun-tahun tak bertemu. Selain itu ia ingin menghilangkan penat dan rasa bosan yang menderanya akhir-akhir ini. Banyak masalah yang berkecamuk di dalam dadanya. Ingin sekali dia menumpahkan semua uneg-unegnya saat itu. Namun,  sahabatnya  tak jua datang. Jihan  jadi resah dan gelisah. Kegelisahannya sudah sampai pada titik kulminasi atau klimak.
“Kepada siapa lagi aku berkeluh? Rumput yang bergoyangkah? Awan yang berarak di langitkah? Ataukah pada bebatuan hitam yang membisu?” guman lirih Jihan. Semua itu membuat hatinya terasa makin remuk redam.
“Aduuh, Han, kok masih bengong kan sudah ada aku di sisimu,” suara Ipah sambil menggelitiki pinggang Jihan.
“Ah, kamu itu bikin aku geli, Nih  rasain,  balasan untuk orang yang suka goda orang lain,” Jihan mencubit pipi Ipah.
Sudah terbiasa dengan perilaku sahabatnya itu, keduanya kemudian tertawa lepas. Melepaskan beban-beban berat yang dirasakannya selama ini. Rasanya senang sekali, dadanya yang sesak kini terasa plong,
“Ipah, kamu memangnya dari mana?” pertanyaan Jihan meluncur dari bibir tipisnya. Yang ditanya hanya cengar cengir menimbulkan rasa penasaran.
“ Hayo tebak kawan, aku dari mana?”
 “Lho, gimana ini ditanya malah ganti nanya, memang jeruk makan jeruk apa?“  “Oke, aku akan menjawabnya kawan, tapi bagaimana kalau kita ke Museum Kereta Api Ambarawa saja sekalian mengusir gundahmu dan mencari udara segar?”
“Tapi kalau Tini datang bagaimana?”
“Ah, gampang, kan dia pasti telepon kamu,” kata Ipah sambil menggadeng Jihan.
Keduanya setuju dan segera meluncur ke lokasi yang terletak tidak jauh dari pusat kota Ambarawa.Tiba di lokasi, tepat di pintu masuk mereka menikmati pemandangan yang ada. Di sana terlihat koleksi utama museum berupa 21 loko uap yang diletakkan di tempat terbuka, menyebar di bawah rimbunnya pepohonan yang menghijau. Sejuk dan segar memancar dari rimbunnya pepohonan yang tertata rapi.
“Ayo, Jihan jalan sini,  malah  bengong di situ, memang ada masalah apa dari tadi wajahmu kok muram
“Di mana keceriaan yang menjadi trade markmu kau simpan, di Rawa pening atau di Gunung Telomoyo?”Lagi-lagi Jihan mencubit lengan sahabatnya itu sambil berjalan menikmati rumput-rumput hijau yang seakan mengucapkan selamat datang pada mereka berdua.
“Tidak bengong kawan, aku baru memikirkan tentang keperkasaan kereta api itu di masa lalu, saat itu kereta api memegang peranan penting dalam perhubungan dan peperangan. Lihat dan perhatikan si hitam legam itu! Sudah berumur ratusan tahun yang lalu, tapi masih perkasa, kuat dan luar biasa, “ kata Jihan sambil mengambil kamera untuk berpose bersama.
“Hebat, hebat, sahabatku tetap hebat seperti dulu, cocoknya kamu itu jadi ahli sejarah, kau masih seperti yang dulu ya, cerdas dan tak mau diam diri, otakmu selalu encer seperti profesor saja.”
“Bukan profesor, tapi penyanyi ,“  jawab Jihan sekenanya saja.
Keduanya kembali bersendau gurau dan tertawa sambil terus berjalan menyusuri seluruh sudut museum. Orang-orang yang ada di sekeliling museum sampai heran dan bengong sendiri dengan tingkah polah ini. Keakraban yang lama hilang, kini kembali lagi. Sahabat lamanya mampu mengharubirukan suasana batinnya dengan candaan dan kata-kata menggelitik yang keluar dari bibirnya. Indahnya sore di museum kereta api Ambarawa, seindah persahabatan yang telah terjalin dan terpatri di hati sanubari.
‘’ Ipah, kita lanjut ke sini saja ya, di tempat ini kita dapat melihat bangunan tua seperti lokomotif  dan gerbong kereta berfungsi sebagai kantor stasiun. Di sinilah, tamu akan disambut oleh petugas. Fungsinya adalah sebagai ruang pamer berbagai kekayaan museum yang ada, tempat menyimpan beberapa koleksi museum. Koleksi yang dimaksud adalah berupa pesawat telepon kuno, mesin ketik, mesin hitung, mesin telegram, stempel, karcis hingga beragam topi masinis pada masa lalu tentunya. Indah semua kan? Wow menarik sekali barang-barang disini ,lihat ! disana juga ada foto-foto yang bagus juga.” Jihan tak henti bicara kaya guide saja.”
 “Hem, ternyata Indonesia kaya segalanya ya?’’tiba-tiba Ipah ngomong sendiri.
“ Ya, tetapi kurang perawatannya, dan ini menjadi tugas kita sebagai generasi muda untuk merawat, melestarikan dan menyebarkan informasi pada masyarakat untuk mencintai budaya sendiri.”
Mereka terus berjalan dan bergandeng tangan menikmati indahnya Museum Kereta Api Ambarawa. Sesekali mereka menikmati camilan yang dibelinya di warung sebelah museum, roti better dan gorengan kesukaannya. Mereka menikmati persahabatan yang telah terbina di sore itu.
Di sisi kiri kanan bangunan berjajar kursi tua yang nyaman untuk menikmati segarnya  angin sore.
“ Lihat Pah, lihat itu!  mereka asyik ya?”. Sekelompok anak lelaki sedang asyik bermain bola di antara rel lokomotif tua dan lori wisata.
‘’ Kita ikutan yuk?”. Ajakan Ipah,  dijawab spontan oleh Jihan, “ Kau ini ada-ada saja tow, saya kan paling tidak bisa olah raga, bisanya olah vocal.”
“ Oh… ya, ya, aku sampai lupa. Kau itu kan sebenarnya mau jadi Yati Pesek II tapi tidak dapat restu ortu,  sekarang  malah jadi pesinden Sunyahni.”
“ Ha… ha… ha… ha,“ Keduanya kembali menebar tawa untuk yang kesekian kalinya. Lucu, sungguh indah pertemuan di sore itu.
 “ Sayang ya, kita tidak bisa menikmati kereta wisata kali ini,” Ipah mulai bicara lagi. “Nggak apa-apa suatu saat kita bisa ke sini lagi, kapan-kapan ya?’’sahut Jihan.
Saat liburan tiba liburan, akhir pekan atau kunjungan wisatawan, kereta lori wisata dengan kapasitas 15 – 20 penumpang akan dijalankan menyusuri rel Ambarawa – Tuntang, dengan tarif Rp 10.000,-  Mata pengunjung akan dimanjakan keindahnya lengkap dengan pemandangan alam, sawah, ladang nan luas menghampar di sepanjang perjalanan dengan latar belakang gunung Ungaran, gunung Merbabu dan Rawa Pening. Hanya sekitar 7 km saja, tetapi begitu berkesan bagi para penikmat alam raya.
“ Indah tanah airku
Indonesia Raya pujaan bangsaku
Tanah airku yang kaya raya
Dengan pemandangan alamnya”
Suara Jihan memecah kesunyian yang ada. Kegalauan yang ia rasakan terlupakan sejenak. Sebuah nyanyian keroncong yang memuja keindahan dan kekayaan Indonesia meluncur dari bibirnya.
“ Wah, suaramu keren abis kawan, kok nggak ikutan lomba di Jakarta saja  to?”
 “Menghina kau ya, nggak apa-apa, tapi sesama kawan dilarang saling menghina,” gurau Jihan dengan tersenyum mesra.
Diantara keheningan suasana museum, tiba-tiba ponsel yang berada di tas mungilnya berbunyi agak keras, segera  Jihan mengambil dan membaca siapa yang calling di sore ini.
 “ Assalamualaikum, “ suara laki- laki agak parau terdengar di HP nya
“Waalaikum salam, ada apa kok kamu tumben nelpon aku?” ganti Jihan balik bertanya dengan gemetar karena yang telepon ternyata kakaknya Tini, yang pernah dikenalnya.
 “ Ada berita  yang harus saya sampaikan,” lanjut Gito, kakak Tini bergetar
“ Ada apa cepat katakan!” hati Jihan deg- degan.
“Ehm… anu, Han…,” Lanjut Gito terputus-putus
“ Aduuh kenapa sih… pakai anu-anu segala, kamu ini suka bercanda!”
 Tabahkan hatimu, Han bahwa si Tini tadi siang terserempet mobil saat mau menyebarang dan….,” suara Gito terputus-putus
“ Gak apa-apa kan, terus sekarang dirawat di rumah sakit mana?” Jihan penasaran
“ Dia… dia… tak tertolong lagi, ia telah menghadap Allah, Swt.”
“ Apa…..?!” Jihan menjerit.
Segera  Jihan melafalkan kalimat tarjik dengan lembut, “Inna lillahi wainna ilaihi rojiun, semua adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya.” Air mata Jihan menganak sungai, mengalir dan membasahi kedua belah pipinya yang bulat.  Ia lunglai badannya seolah tak bertulang lagi. Jihan pingsan. Senja pun berganti malam, mendung bergelayut di langit..

( Cerpen bisa dibaca di Buku Antologi Ambarawa di Ujung Pena Tahun 2013)

Posting Komentar

 
Top