2

Angin sepoi berhembus pelan, menerpa rerumputan bergoyang seirama. Sore beranjak  menjelang.
Sehabis ashar, ku panggil anak-anak yang berlarian dipadang rerumputan halaman rumah. Entah sedang mengejar apa, tidak begitu jelas, cerianya mereka ceria masa kanak-kanak saat sore hari, yang paginya sudah dihabiskan didunia sekolahnya. “Kak Abid... Mbak Amel... Dhek Uqi... sini.. mau ikut Abi nggak?”, dengan nada agak keras memanggil mereka.
Bertiga mereka meninggalkan apa yang dikejarnya, menuju sumber suara, dihalaman rumah mungil kami. “Mau kemana bi?”, tanya sulungku. “Jalan-jalan yuk”, sahutku. “Ikut..” serentak bersama seakan dipandu aba-aba antara Mbak Amel (anak keduaku) dan Dhek Uqi (bungsuku).
Selang waktu kemudian, kami berempat sudah dalam perjalanan menyusuri jalan alternatif ke sebuah kota. Memang awalnya belum ada ide untuk tujuan kami sore itu. Sesampainya disebuah daerah, aku teringat beberapa tahun lalu akan sebuah desa dengan topografi yang lumayan tinggi, di lembah kaki gunung Telomoyo dan gunung Kendil. Sebuah desa dengan penuh pesona khas pegunungan. Jalan menanjak menuju hamparan hijau di lembah kedua gunung tersebut. Sepakung... pesonanya membuat kita yang telah mengunjungi tidak akan pernah lupa. Iya akhirnya aku sampaikan kepada anak-anakku untuk mengunjungi desa itu. Sebuah desa yang masuk Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang.
---------
Ada sebuah dangau indah
Di tengah padang hijau rerumputan
Tak lapuk karena hujan, tak goyah karena topan
Atau terik mentari gurun membakar siang
---------

Sebait lagu dari Suara Persaudaraan mengalun dari daftar putar telepon genggamku.
Kubelokkan mobil memasuki jalan sempit yang memulai menanjak menuju awan. Kanan kiri warna hijau dominan, sesekali terdengar suara gemericik air turun di sela-sela bebatuan di pinggir jalan, jernih mengalir dari atas menuju kebawah, bermuara didanau alam Rawa Pening yang menawan.

Sesekali kuputar memoriku 5 tahunan yang lalu menyusuri jalanan ini yang sekarang berubah dengan beberapa bagian di beton. Beberapa penduduk yang pulang dari ladang atau kebun membawa gendongan, ada rumput ada pula yang membawa hasil kebun. Kelihatan peluh di raut mukanya-pun tetap tersenyum saat kami melewatinya, dan kusapa “monggo bu.. monggo pak...” . Beberapa kampung telah kulewati dan kutanjakkan terus mobil kami menuju samar tertutup kabut sebuah gerombolan rumah diatas sana.

-------
Sejuknya alam pengunungan
Berhiaskan pepohonan
Jurang dalam tepi nan terjal
Menambah kharisma pesona ciptaan Tuhan

Hijau rerumputan
Selaksa permadani
Terhampar luas membentang
Cermin indah diciptakan

Panorama langit biru
Semburat awan berarak
Sengat mentari nan teduh
Gegap gembita menggelora
Semesta membahana
------
Sekali lagi alunan nasyid dari Suara Persaudaraan membawa suasana semakin membekas mengiringi kami menanjaki lukisan alam ciptaan Illahi.
------
Betapa kecil manusia
Ditengah hamparan dunia
Kerugianlah bagi mereka
Yang tiada bersyukur mentafakurinya
------
Subhanallah wal hamdulillah ...
Sungguh sebuah lukisan alam terpampang dalam perjalanan sore ini. Lukisan alam yang begitu indah nan mempesona. Sampailah kami dijalanan yang agak mendatar dan kami tolehkan pandangan kami kesamping belakang, terhampar luas air membentang, pemandangan Rawa Pening dari atas awan.
Wajah anak-anakku terhenyak menikmati hamparan di hadapan. Sambil kuceritakan apa yang dilihat apa yang dirasa. Sebuah kisah asal usul terjadinya Rawa Pening menurut legenda, yang tersebar.
Hamparan Rawa Pening (erma novia sari :2015)


Kulanjutkan perjalananku, memasuki perkampungan yang mulai ku ingat akan tata letak bangunannya. Ada sebuah sekolah dasar di tepi jalan, dan masjid yang sejuk kupandang. Kupinggirkan kendaraan ketepi jalan, kumatikan nyala mesinnya. Kuajak turun anak-anakku dari kendaraan. Langkah pertama, ku arahkan pada gapura yang bertuliskan “KAWASAN SENDANG ARI WULAN” . Seakan ada magnet yang manarik kami memasuki gang tersebut yang mengarah kelihatan dari jauh hamparan warna hijau dari daun padi yang tumbuh di lembah kaki gunung Telomoyo.

Gapura masuk sendang Ari Wulan

Di pinggir kampung, diujung gang yang kususuri sebuah pohon beringin dengan bangunan dibawahnya mengalirkan air jernih tak terhenti. Anak-anak kampung dengan riuh bercanda di dalamnya bermain air, bermandikan kemilau bening sendang tersebut. Kutanyakan pada Bapak yang lewat tentang nama sendang tersebut, untuk meyakinkanku kembali apakah ini yang dinamakan sendang ari wulan. Memang benar itulah sendang ARI WULAN, belum sempat mengorek lebih jauh knapa dinamakan demikian, anak-anaku sudah berlarian menyusuri sebuah jalan kecil yang kanan kirinya hijau daun padi yang bergoyang oleh terpaan angin lembah menyejukkan.
                                              Gunung kendil dan pemadani sawah dibawahnya (dhave.net)

Puas meresapi, memandangi, menikmati indahnya lukisan yang dihamparkan di hadapan, kami bergegas memutar balik haluan kembali ke jalanan dimana kendaraan kami parkir, sesekali berhenti masih menengok layar hidup nan jauh dibarat gunung kendil yang perkasa seakan mengajak kami mengunjunginya suatu saat. Dipinggir jalan kecil itu mengalir air gunung yang mengaliri sawah, jernih bening dan tak kuasa anak-anakku tuhk menyapanya. Bermain air di alirannya, bercanda basah-basahan kecil dengan saudaranya. Dan seru leraiku pada mereka untuk tidak basah-basahan hanya bumbu ditengah gembiranya mereka menikmati keindahan suasana persawahan di lembah dengan air jernih mengalirinya. Masih banyak tempat di desa ini yang menawan untuk dikunjungi, tetapi waktu yang sebentar tidak cukup untuk menjelajahi, semoga lain waktu bisa menikmati tempa menawan lainya dari pesona desa Sepakung ini.

Suasana persawahan di lembah Sepakung

Siswa “Badung” itu sudah Sarjana.

Setelah keluar gapura gang menuju kendaraan yang terparkir di tepian jalan, anganku kembali pada memori 5 tahunan yang lalu, saat aku masih bertugas disebuah sekolah kejuruan di kota Salatiga. Merupakan kewajiban sebagai wali kelas, mengunjungi anak didiknya yang sudah beberapa hari tidak masuk. Rudi nama anak didikku, iya aku ingat di pojok jalan sebelah sekolah dasar itu ada gang masuk, seingatku rumahnya melewati gang tersebut. Kuajak anak-anakku menuju gang sebelah sekolah itu, berjalan santai, sesekali menyapa penduduk senyum ketika berpapasan dengan kami.

Gang kami susuri masuk kedalam dan ingatan ketika dahulu aku melewatinya kembali terkembang. Nampaklah sebuah rumah yang letaknya agak diketinggian tanah. Terpampang papan nama kepala dusun didepan rumahnya. Iya inilah rumah anak didikku waktu itu, Rudi yang hampir ingin keluar dari sekolah, tidak mau melanjutkan sekolahnya, entah alasan apa yang mendasari niatnya itu. Jika dilihat dari jarak rumah ke sekolah memang terhitung cukup jauh, 45 menit untuk sampai kesekolahan, belum lagi perjalanan naik turun jalan dari rumahnya menuju ke jalan raya akses angkutan umum cukup jauh dan sepi.

Memang... keseharian Rudi disekolah tidak begitu menonjol di bidang prestasi, bahkan beberapa kali jadi bahan pembicaraan kami akan pelanggaran-pelanggaran tata tertib yang dia lakukan. Setelah aku berkunjung kerumahnya, memberikan pandangan akan masa depannya, mengajaknya berpikir ulang akan niatnya untuk berhenti sekolah. Mengajaknya berpikir dan berpikir ulang kembali, akhirnya ke esokan harinya, si Rudi menampakkan diri ke sekolah dengan diantar orang tuanya. Alhamdulillah dia kembali bersekolah yang tinggal beberapa bulan lagi akan dia tinggalkan dengan predikat LULUS.

Disini aku belajar salah satu seni berbicara kepada anak, adalah mau memahami dan mengerti pendapatnya, membesarkan hatinya, kemudian mengingatkan akibat-akibat buruk yang bisa terjadi. Akhirnya kata-kata pamungkas layaknya orang tuanya adalah memotivasi dengan hal-hal yang sekiranya lebih menarik perhatiannya. Memberi gambaran akan hal menantang yang bisa dan mampu ia takhlukkan, Alhamdulillah akhirnya Dia mau menerima masukanku untuk kembali bersekolah.

----
Sore tadi setelah aku diterima, di bukakan pintu oleh Ibunya dan dipersilahkan masuk. Kaget memang si Ibu kedatangan kami, setelah beberapa saat diingat, tanpa aku memperkenalkan diri, Ibu sudah menyapa dan menyebut namaku yang menandakan ingatan Ibu masih begitu kuat. Dimana kami hanya bertemu sesekali dan sudah 5 tahunan yang lalu, yang mengesankan adalah saat kelulusan putranya, Bapak dan Ibunya Rudi berkunjung kerumah dengan membawa sekeranjang sayuran, ada beras, ada gula jawa, dan cemilan ala kampung yang sudah jarang ditemui.

Setelah duduk dan saling menyapa, mengabarkan keadaan, layaknya tuan rumah apabila ada tamu adalah menyuguhkan apa-apa yang dipunyainya di rumah. Waktu bergulir, bincang-bincang mengalir, dan Bapaknya Rudi pulang dari acara dikampungnya. Sayangnya sore tadi tidak bertemu langsung dengan Rudi. Dari cerita orang tuanyalah, diketahui kalau Rudi setelah lulusan sekolah SMK dahulu melanjutkan kuliah di Universitas ternama di kota Salatiga. Yang mengagetkan lagi gelar sarjana dengan jurusan Bimbingan Konseling telah dia kantongi. Heran memang.. dulu waktu SMK dia sering berhubungan dengan guru BK, sekarang dia menyandang lulusan Pendidikan Bimbingan Konseling. Perlu mengetahui langsung dan bertanya kepadanya tentang alasan dibalik itu semua. Apapun itu... sebuah rasa bangga menyelinap pada diri ini melihat anak didiknya bisa berhasil melewati sapuan angin dan kembali bertahan dan berhasil membuktikan bahwa dia mampu.

Waktu mendekati senja, setelah berbincang penuh keakraban dan kekeluargaan, kami mohon pamit pulang. Hawa dingin mulai menyergap turun dari bebukitan ke lembah ngarai, kabut berarak telah menutupi sebagian puncak Telomoyo. Nyala lampu jalan pun ikut beraksi menerangi jalanan kampung. Kami berempat memasuki kendaraan dan bergegas pelan, menyusuri jalan kampung yang menurun. Sayup-sayup sudah terdengar suara adzan dari surau-surau. Sekali lagi ketepikan kendaraan, di dekat masjid pinggir jalan di desa jalur turun ke jalan raya. Setelah menunaikan ibadah sholat maghrib, kulihat anak-anak kampung berjajar rapi di meja dengan membawa kitab sucinya berderet antri untuk menunggu mangaji.


Semburat senja diatas bukit

            Kami lanjutkan menuruni jalanan yang sore tadi kami lewati. Semburat jingga dilangit masih tersisa, seakan-akan menunggu kami dan ingin menyampaikan pamit pada kami dengan menampakkan keindahaanya sebelum tertutup gulitanya malam. Lampu gemerlap nun jauh disana di kota Ambarawa pun berarak berkelipan. Pantulan cahaya jingga ditengah hamparan air Rawa Pening pun ikut tampil diepisode pergantian waktu. Jalanan yang mulai tidak terlihat kami sinari dengan lampu kendaraan yang menyorot kedepan. Suara hewan malam mulai sayup terdengar. Dan sampailah dijalan raya jalur angkutan umum. Melaju lebih kencang kendaraan kami menuju istana impian.

Begitulah sepenggal waktu mengisi sore hari bersama ketiga anakku. Jalan-jalan sore ke sebuah desa nun jauh dilembah yang diapit dua puncak gunung. Bertafakur mentadaburi alam, ciptaan Illahi. Pesona lembah Sepakung, yang lain waktu kami ingin kembali mengunjunginya. Dan pelajaran lain yang kami dapat dari jalinan silaturahim, dan hikmah disebaliknya semoga membekas pada diri kami dan anak-anak kami. Kali ini peranku sebagai seorang ayah. Membawa anak jalan-jalan, meski hanya menyusuri jalan menuju ke sebuah desa yang menawan. Sambil membicarakan apa saja yang dilihat, dengan membiarkan anak-anak bebas bermain, berlarian, bercanda dengan saudaranya. Masih banyak ide kegiatan yang bisa kita lakukan bersama anak kita dalam memberi makna kehidupan kepada mereka.
Semoga dapat diambil ibrohnya.
-----
Nuansa malam jingga temaram
Bertanda senja beraksi malam
Desahkan tilawah, hilang letih lelah
Menyalalah lampu tahajud tak beruang pilar

Rabbi hablii minash shoolihiin
Ya Rabb ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang temasuk orang-orang sholeh

-----


Ambarawa, awal hari 14/05/2016

Posting Komentar

 
Top