Angin
sepoi berhembus pelan, menerpa rerumputan bergoyang seirama. Sore beranjak menjelang.
Sehabis ashar, ku panggil anak-anak
yang berlarian dipadang rerumputan halaman rumah. Entah sedang mengejar apa,
tidak begitu jelas, cerianya mereka ceria masa kanak-kanak saat sore hari, yang
paginya sudah dihabiskan didunia sekolahnya. “Kak Abid... Mbak Amel... Dhek
Uqi... sini.. mau ikut Abi nggak?”, dengan nada agak keras memanggil mereka.
Bertiga mereka meninggalkan apa yang
dikejarnya, menuju sumber suara, dihalaman rumah mungil kami. “Mau kemana
bi?”, tanya sulungku. “Jalan-jalan yuk”, sahutku. “Ikut..” serentak bersama
seakan dipandu aba-aba antara Mbak Amel (anak keduaku) dan Dhek Uqi (bungsuku).
Selang waktu kemudian, kami berempat
sudah dalam perjalanan menyusuri jalan alternatif ke sebuah kota. Memang
awalnya belum ada ide untuk tujuan kami sore itu. Sesampainya disebuah daerah,
aku teringat beberapa tahun lalu akan sebuah desa dengan topografi yang lumayan
tinggi, di lembah kaki gunung Telomoyo dan gunung Kendil. Sebuah desa dengan
penuh pesona khas pegunungan. Jalan menanjak menuju hamparan hijau di lembah
kedua gunung tersebut. Sepakung... pesonanya membuat kita yang telah
mengunjungi tidak akan pernah lupa. Iya akhirnya aku sampaikan kepada
anak-anakku untuk mengunjungi desa itu. Sebuah desa yang masuk Kecamatan
Banyubiru Kabupaten Semarang.
---------
Ada sebuah dangau indah
Di tengah padang hijau
rerumputan
Tak lapuk karena hujan,
tak goyah karena topan
Atau terik mentari
gurun membakar siang
---------
Sebait
lagu dari Suara Persaudaraan mengalun dari daftar putar telepon genggamku.
Kubelokkan mobil
memasuki jalan sempit yang memulai menanjak menuju awan. Kanan kiri warna hijau
dominan, sesekali terdengar suara gemericik air turun di sela-sela bebatuan di
pinggir jalan, jernih mengalir dari atas menuju kebawah, bermuara didanau alam
Rawa Pening yang menawan.
Sesekali
kuputar memoriku 5 tahunan yang lalu menyusuri jalanan ini yang sekarang
berubah dengan beberapa bagian di beton. Beberapa penduduk yang pulang dari
ladang atau kebun membawa gendongan, ada rumput ada pula yang membawa hasil
kebun. Kelihatan peluh di raut mukanya-pun tetap tersenyum saat kami
melewatinya, dan kusapa “monggo bu.. monggo pak...” . Beberapa kampung telah
kulewati dan kutanjakkan terus mobil kami menuju samar tertutup kabut sebuah
gerombolan rumah diatas sana.
-------
Sejuknya alam
pengunungan
Berhiaskan pepohonan
Jurang dalam tepi nan
terjal
Menambah kharisma
pesona ciptaan Tuhan
Hijau rerumputan
Selaksa permadani
Terhampar luas
membentang
Cermin indah diciptakan
Panorama langit biru
Semburat awan berarak
Sengat mentari nan
teduh
Gegap gembita
menggelora
Semesta membahana
------
Sekali lagi alunan
nasyid dari Suara Persaudaraan membawa suasana semakin membekas mengiringi kami
menanjaki lukisan alam ciptaan Illahi.
------
Betapa kecil manusia
Ditengah hamparan dunia
Kerugianlah bagi mereka
Yang tiada bersyukur
mentafakurinya
------
Subhanallah wal
hamdulillah ...
Sungguh
sebuah lukisan alam terpampang dalam perjalanan sore ini. Lukisan alam yang
begitu indah nan mempesona. Sampailah kami dijalanan yang agak mendatar dan
kami tolehkan pandangan kami kesamping belakang, terhampar luas air
membentang, pemandangan Rawa Pening dari atas awan.
Wajah anak-anakku
terhenyak menikmati hamparan di hadapan. Sambil kuceritakan apa yang dilihat
apa yang dirasa. Sebuah kisah asal usul terjadinya Rawa Pening menurut legenda,
yang tersebar.
Hamparan Rawa Pening (erma novia sari :2015)
Kulanjutkan
perjalananku, memasuki perkampungan yang mulai ku ingat akan tata letak
bangunannya. Ada sebuah sekolah dasar di tepi jalan, dan masjid yang sejuk
kupandang. Kupinggirkan kendaraan ketepi jalan, kumatikan nyala mesinnya.
Kuajak turun anak-anakku dari kendaraan. Langkah pertama, ku arahkan pada
gapura yang bertuliskan “KAWASAN SENDANG ARI WULAN” . Seakan ada magnet yang
manarik kami memasuki gang tersebut yang mengarah kelihatan dari jauh hamparan
warna hijau dari daun padi yang tumbuh di lembah kaki gunung Telomoyo.
Gapura masuk sendang Ari Wulan
Di
pinggir kampung, diujung gang yang kususuri sebuah pohon beringin dengan
bangunan dibawahnya mengalirkan air jernih tak terhenti. Anak-anak kampung
dengan riuh bercanda di dalamnya bermain air, bermandikan kemilau bening
sendang tersebut. Kutanyakan pada Bapak yang lewat tentang nama sendang
tersebut, untuk meyakinkanku kembali apakah ini yang dinamakan sendang ari
wulan. Memang benar itulah sendang ARI WULAN, belum sempat mengorek lebih jauh
knapa dinamakan demikian, anak-anaku sudah berlarian menyusuri sebuah jalan
kecil yang kanan kirinya hijau daun padi yang bergoyang oleh terpaan angin
lembah menyejukkan.
Gunung kendil dan pemadani sawah dibawahnya (dhave.net)
Puas
meresapi, memandangi, menikmati indahnya lukisan yang dihamparkan di hadapan,
kami bergegas memutar balik haluan kembali ke jalanan dimana kendaraan kami
parkir, sesekali berhenti masih menengok layar hidup nan jauh dibarat gunung
kendil yang perkasa seakan mengajak kami mengunjunginya suatu saat. Dipinggir
jalan kecil itu mengalir air gunung yang mengaliri sawah, jernih bening dan tak
kuasa anak-anakku tuhk menyapanya. Bermain air di alirannya, bercanda
basah-basahan kecil dengan saudaranya. Dan seru leraiku pada mereka untuk tidak
basah-basahan hanya bumbu ditengah gembiranya mereka menikmati keindahan
suasana persawahan di lembah dengan air jernih mengalirinya. Masih banyak
tempat di desa ini yang menawan untuk dikunjungi, tetapi waktu yang sebentar
tidak cukup untuk menjelajahi, semoga lain waktu bisa menikmati tempa menawan lainya
dari pesona desa Sepakung ini.
Suasana persawahan di lembah Sepakung
Siswa
“Badung” itu sudah Sarjana.
Setelah
keluar gapura gang menuju kendaraan yang terparkir di tepian jalan, anganku
kembali pada memori 5 tahunan yang lalu, saat aku masih bertugas disebuah
sekolah kejuruan di kota Salatiga. Merupakan kewajiban sebagai wali kelas,
mengunjungi anak didiknya yang sudah beberapa hari tidak masuk. Rudi nama anak
didikku, iya aku ingat di pojok jalan sebelah sekolah dasar itu ada gang masuk,
seingatku rumahnya melewati gang tersebut. Kuajak anak-anakku menuju gang
sebelah sekolah itu, berjalan santai, sesekali menyapa penduduk senyum ketika
berpapasan dengan kami.
Gang
kami susuri masuk kedalam dan ingatan ketika dahulu aku melewatinya kembali
terkembang. Nampaklah sebuah rumah yang letaknya agak diketinggian tanah.
Terpampang papan nama kepala dusun didepan rumahnya. Iya inilah rumah anak
didikku waktu itu, Rudi yang hampir ingin keluar dari sekolah, tidak mau
melanjutkan sekolahnya, entah alasan apa yang mendasari niatnya itu. Jika
dilihat dari jarak rumah ke sekolah memang terhitung cukup jauh, 45 menit untuk
sampai kesekolahan, belum lagi perjalanan naik turun jalan dari rumahnya menuju
ke jalan raya akses angkutan umum cukup jauh dan sepi.
Memang...
keseharian Rudi disekolah tidak begitu menonjol di bidang prestasi, bahkan
beberapa kali jadi bahan pembicaraan kami akan pelanggaran-pelanggaran tata
tertib yang dia lakukan. Setelah aku berkunjung kerumahnya, memberikan
pandangan akan masa depannya, mengajaknya berpikir ulang akan niatnya untuk
berhenti sekolah. Mengajaknya berpikir dan berpikir ulang kembali, akhirnya ke
esokan harinya, si Rudi menampakkan diri ke sekolah dengan diantar orang
tuanya. Alhamdulillah dia kembali bersekolah yang tinggal beberapa bulan lagi
akan dia tinggalkan dengan predikat LULUS.
Disini
aku belajar salah satu seni berbicara kepada anak, adalah mau memahami dan
mengerti pendapatnya, membesarkan hatinya, kemudian mengingatkan akibat-akibat
buruk yang bisa terjadi. Akhirnya kata-kata pamungkas layaknya orang tuanya
adalah memotivasi dengan hal-hal yang sekiranya lebih menarik perhatiannya.
Memberi gambaran akan hal menantang yang bisa dan mampu ia takhlukkan,
Alhamdulillah akhirnya Dia mau menerima masukanku untuk kembali bersekolah.
----
Sore
tadi setelah aku diterima, di bukakan pintu oleh Ibunya dan dipersilahkan masuk.
Kaget memang si Ibu kedatangan kami, setelah beberapa saat diingat, tanpa aku
memperkenalkan diri, Ibu sudah menyapa dan menyebut namaku yang menandakan
ingatan Ibu masih begitu kuat. Dimana kami hanya bertemu sesekali dan sudah 5
tahunan yang lalu, yang mengesankan adalah saat kelulusan putranya, Bapak dan
Ibunya Rudi berkunjung kerumah dengan membawa sekeranjang sayuran, ada beras,
ada gula jawa, dan cemilan ala kampung yang sudah jarang ditemui.
Setelah
duduk dan saling menyapa, mengabarkan keadaan, layaknya tuan rumah apabila ada
tamu adalah menyuguhkan apa-apa yang dipunyainya di rumah. Waktu bergulir,
bincang-bincang mengalir, dan Bapaknya Rudi pulang dari acara dikampungnya.
Sayangnya sore tadi tidak bertemu langsung dengan Rudi. Dari cerita orang
tuanyalah, diketahui kalau Rudi setelah lulusan sekolah SMK dahulu melanjutkan
kuliah di Universitas ternama di kota Salatiga. Yang mengagetkan lagi gelar
sarjana dengan jurusan Bimbingan Konseling telah dia kantongi. Heran memang..
dulu waktu SMK dia sering berhubungan dengan guru BK, sekarang dia menyandang
lulusan Pendidikan Bimbingan Konseling. Perlu mengetahui langsung dan bertanya
kepadanya tentang alasan dibalik itu semua. Apapun itu... sebuah rasa bangga
menyelinap pada diri ini melihat anak didiknya bisa berhasil melewati sapuan
angin dan kembali bertahan dan berhasil membuktikan bahwa dia mampu.
Waktu
mendekati senja, setelah berbincang penuh keakraban dan kekeluargaan, kami
mohon pamit pulang. Hawa dingin mulai menyergap turun dari bebukitan ke lembah
ngarai, kabut berarak telah menutupi sebagian puncak Telomoyo. Nyala lampu jalan
pun ikut beraksi menerangi jalanan kampung. Kami berempat memasuki kendaraan
dan bergegas pelan, menyusuri jalan kampung yang menurun. Sayup-sayup sudah
terdengar suara adzan dari surau-surau. Sekali lagi ketepikan kendaraan, di
dekat masjid pinggir jalan di desa jalur turun ke jalan raya. Setelah
menunaikan ibadah sholat maghrib, kulihat anak-anak kampung berjajar rapi di
meja dengan membawa kitab sucinya berderet antri untuk menunggu mangaji.
Semburat senja diatas bukit
Kami lanjutkan menuruni jalanan yang sore tadi kami
lewati. Semburat jingga dilangit masih tersisa, seakan-akan menunggu kami dan
ingin menyampaikan pamit pada kami dengan menampakkan keindahaanya sebelum
tertutup gulitanya malam. Lampu gemerlap nun jauh disana di kota Ambarawa pun
berarak berkelipan. Pantulan cahaya jingga ditengah hamparan air Rawa Pening
pun ikut tampil diepisode pergantian waktu. Jalanan yang mulai tidak terlihat
kami sinari dengan lampu kendaraan yang menyorot kedepan. Suara hewan malam
mulai sayup terdengar. Dan sampailah dijalan raya jalur angkutan umum. Melaju
lebih kencang kendaraan kami menuju istana impian.
Begitulah
sepenggal waktu mengisi sore hari bersama ketiga anakku. Jalan-jalan sore ke
sebuah desa nun jauh dilembah yang diapit dua puncak gunung. Bertafakur mentadaburi
alam, ciptaan Illahi. Pesona lembah Sepakung, yang lain waktu kami ingin
kembali mengunjunginya. Dan pelajaran lain yang kami dapat dari jalinan
silaturahim, dan hikmah disebaliknya semoga membekas pada diri kami dan
anak-anak kami. Kali ini peranku sebagai seorang ayah. Membawa anak jalan-jalan, meski hanya menyusuri jalan menuju ke sebuah desa yang menawan.
Sambil membicarakan apa saja yang dilihat, dengan membiarkan anak-anak bebas
bermain, berlarian, bercanda dengan saudaranya. Masih banyak ide kegiatan yang
bisa kita lakukan bersama anak kita dalam memberi makna kehidupan kepada
mereka.
Semoga dapat diambil
ibrohnya.
-----
Nuansa malam jingga
temaram
Bertanda senja beraksi
malam
Desahkan tilawah,
hilang letih lelah
Menyalalah lampu
tahajud tak beruang pilar
Rabbi
hablii minash shoolihiin
Ya Rabb ku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang temasuk orang-orang sholeh
-----
Ambarawa, awal hari 14/05/2016
dari hamba allah-ceritanya ok banget
BalasHapusP Ali keren...puitis, penuh debgan majas nan indah...
BalasHapus