3
”Lihat! Ada berita panas! Seorang dosen tersengat listrik sampai tewas!” Bu Endah, seorang Kepala Sekolah yang terkenal cantik dan ramah mengulurkan koran pada beberapa guru yang tengah menikmati waktu istirahat di ruang guru dengan berapi-api. Mereka, para guru berebutan ingin membaca yang pertama kali.
Sementara itu, Bu Nadia baru saja selesai menunaikan shalat Dhuha di Musholla. Bu Nadia melangkahkan kaki menuju ruang kerjanya.  Bu Nadia melihat beberapa teman yang sedang   asik berbincang tentang berbagai hal serta beberapa yang lain bergiliran membaca koran.
“Bu Nadia, kau kenal dengan Bapak Hafidz, yang seorang dosen di Salatiga ?”  Bu Endah menepuk bahu kirinya  dengan lembut, namun ucapan dan tepukannya barusan sempat mengagetkanya. Bu Nadia tahu, pasti Bu Kepala Sekolah ini sedang tidak main-main. Wajahnya serius, hidung bangir dan kulit putihnya sungguh aduhai.  Namun tegas bila bertutur kata. beliau juga terkenal pemurah, senang memberi pada sesama. Seketika itu juga, Nadia jadi teringat salah satu sahabat baiknya saat masih kuliah dulu. Hafidz. Kenangan indah masa kuliah tahun 1900-an silam menari-menari di pelupuk matanya.
“Ya, Bu, saya kenal baik dengan beliau, memangnya ada apa Bu?
Baca sendiri berita di koran hari ini!” dengan langkah seribu, Bu Endahpun berlalu dari pandangan untuk melakukan agenda kerja lainnya.
“Ya, Ibu, terimakasih banyak informasinya, jawab Bu Nadia. Bu Nadia jadi penasaran. Sebenarnya ada apa yang terjadi dengan Hafidz. Dia memang sahabat baiknya. Namun sudah puluhan tahun berlalu tidak  pernah bertemu.
 Segera koran diraihnya, dicarinya head news agar cepat pada sasaran bacanya. Nadia sungguh kaget. Rasanya baru kemarin dia duduk berdampingan di acara wisuda. Senyuman sahabatnya  mengembang manis, senyuman khas seorang Hafidz yang cuek, ganteng, cool dan pintar. Dia adalah wisudawan terbaik seangkatannya dulu, 15 April 1995 silam.
 “Ya Allah... Inna lillahi wa innaa ilaihi roojiuun.” Bu Nadia masih terus memegangi koran tersebut, ada butiran-butiran lembut yang keluar dari kelopak matanya. Butiran lembut yang mengalir tanpa diberi aba. Reflek… apa adanya…
 ”Siapa yang meninggal, Bu?
  “ Dia… dia… sahabat baikku!
“Sahabat atau pacar? Mosok sahabat saja sampai menangis gitu?” gurauan teman-temannya  masih jelas terngiang di gendang telinganya. Gurauan teman-temannya di tahun 2006 silam. Mereka terus aja meledeknya dan bicara lepas tanpa beban. Nadia menjawab dengan sedikit nada sumbang.
“Dia itu benar sahabatku, sahabat karibku dulu. Sahabat istimewa yang luar biasa talentanya.
Otak Bu Nadia berputar-putar seperti gangsingan tanpa kendali, mengapa hal ini bisa terjadi di saat karirnya menanjak? Bayangan Hafidz masih terlintas jelas di memorinya. Senyumannya, tatapan matanya,  gaya penampilannya dan gaya bicaranya. Semua begitu jelas di pelupuk matanya. Incredible but fact. Aneh tapi nyata.
 Ahh... mengapa saya melamunkannya, gumamnya.
 “Benarkah ini sahabatku, sahabat baikku? Sahabat tempat aku berbagi ilmu?” Bu Nadia berbicara sendiri. Beberapa pertanyaan bergejolak di dada Bu Nadia. Rasanya tidak percaya, tapi nyata adanya.  Untuk meyakinkan kebenaran.  Bu Nadia berulang kali membaca koran tersebut dan ternyata benar, dia memang sahabatnya, sahabat karibnya. Judulnya jelas sekali, “Hafidz Meninggal Dunia Karena Aliran Listrik.
Hati Nadia bergetar, teriris-iris, sakit, ada rasa kehilangan yang mendalam. Maklumlah sahabatnya tadi adalah teman sekelas, teman belajar, teman organisasi, teman dalam suka dan duka.
Dia teringat seorang sosok teman yang begitu popular seangkatannya kuliah dulu. Seorang sosok yang terkesan cuek bebek namun memiliki talenta Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang luar biasa. Itulah stempel yang  melekat  padanya. Walau sebenarnya dia mau berbagi dan memberi apa yang dia punya.
 Kenangan pada sahabatnya puluhan tahun silam sempat muncul di memorinya. Mereka  memang tidak pernah berkomunikasi sejak wisuda sampai dengan siang itu. Hanya sekali bertemu di kampus, ketika Bu Nadia legalisir Ijazah di kampusnya untuk kepentingan Penerimaan Calon Pegawai Negeri ( CPNS). Mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Bu Nadia langsung berumah tangga dan sibuk dengan urusan rumah tangganya.  Sedangkan Hafidz diberi kesempatan untuk mengajar di almameternya karena prestasi yang diraihnya dan studi lanjut, yang tentunya sudah sibuk luar biasa.
Siapa yang tidak kenal dengan Hafidz? Semua mahasiswa seangkatannya pasti mengenalnya. Jarang mahasiswa yang memiliki talenta di bidang bahasa.  Siapapun pasti salut dan kagum padanya. Secepat itukah dia meninggalkan dunia yang fana ini? Dus, sungguh tragis sekali! Siapa yang menyangka seorang bintang kampus meninggal dunia dengan cara yang mengejutkan, tersengat aliran listrik. Saat kejadian, tidak seorangpun berani memberikan pertolongan  sebab takut tersengat juga, hingga akhirnya tubuhnya terbakar dan jiwanya melayang. Gosong dan hitam!
 Semua memang misteri. Tidak seorangpun yang tahu kapan maut akan menjemput. Sekali lagi Bu Nadia mengucapkan kalimat tarji’ Inna lillaahi wa innaa ilaihi roojiuun. Sesungguhnya semuanya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Bahkan yang lebih tragis, di akhir hayatnya, dia belum sempat menikah dengan kekasihnya yang telah dirajutnya bertahun-tahun. Entah apa yang dicarinya selama ini.  Banyak orang terbengong-bengong dengan pilihan hidupnya. Semuanya dia punya, wajah yang tampan, otak yang brilian, kekasih yang cantik, karir yang menanjak.  Tak terasa koran digenggam Bu Nadia terjatuh ke lantai. Dia baru tersadar, bahwa dirinya terlalu jauh mengenal Hafidz. 
Hafidz oh Hafidz, Kau sungguh malang
***
Tahun 1990-an. Bu Nadia jadi teringat masa-masa indah di kampus tercinta.
Hari  itu nampak begitu cerah. Sang surya bersinar terang. Awan putih berarak berkejar-kejaran di langit biru, tanpa adanya kabut hitam yang menyelimutinya.   Harum bunga nan asri  berbaris rapi di sepanjang kampus menambah indahnya panorama siang itu. Makrus, salah satu teman yang terkenal sebagai mahasiswa vokal  dan berkulit hitam kerempeng berbicara dengan nada lantang.
“ Horee! Horee.... Saudara saudara sekalian, karena Pak Dosen ada tugas mendadak, Acara perkuliahan hari ini kosong!” 
 Sontak kata-katanya menimbulkan komentar yang bervariasi dari mahasiswa yang sejak sejam lalu menunggu perpindahan jadwal kuliah. Ada yang menggerutu dengan nada-nada kecewa, namun ada juga yang senang  sebab, hari itu terbebas dari mata kuliah Bahasa Inggris. Walau di mata mahasiswa, sang dosen bukan kriteria seorang dosen yang killer, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian mahasiswa kurang menyukai mata kuliah yang diampunya.
  Para mahasiswa yang sedang menunggu kehadiran sang dosen segera bergegas menghamburkan diri. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang asyik mengobrol kesana kemari dengan topik yang beraneka ragam. Ada yang menuju ruang perpustakaan untuk mencari referensi, membaca dan meminjam buku serta mengembalikan buku. Ada yang mengerjakan tugas kelompok dan ada pula yang mengadakan kajian bersama.
Nadia, salah satu mahasiswi di kampus itu, segera bergegas mencari sahabat karibnya yang klik tentang mata kuliah yang kosong tersebut. Kecewa juga sih, walau kurang menguasai dengan baik, ternyata rasa suka menimbulkan minat untuk mempelajarinya lebih jauh. Tidak heran ia berkumpul dengan teman-teman yang memiliki interest yang sama di bidang tersebut di sebuah organisasi.
Disanalah dia menimba banyak ilmu yang tidak didapatinya dari para dosen. Sahabatnya yang berpenampilan parlente itu adalah Hafihz. Dia alumni dari Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Sebuah pesantren modern yang sangat terkenal untuk level Asia Tenggara. Tidak heran jika banyak teman yang menyukainya untuk berteman dan bersahabat dengannya. Enak memang, walau cuek dan acuh tak acuh kesan darinya, namun apabila  bisa mengambil hatinya, dia akan senang membantu dan berbagi berbagai.
 “Hai Hafihz, kita belajar menyanyi aja yook!” Hafihz yang selalu cuek bebek itu hanya terdiam. Hafidz yang saat itu membawa gitar hanya terdiam terpaku. Tatapannya kosong. Mungkin baru ada something wrong dengan kekasih hatinya.Wajahnya bersungut-sungut. Tatanan rambutnya awut-awutan dan kepulan rokok berjalan liar ke atas meliuk-liuk seperti ular naga.
“Oke, diam itu berarti setuju lho!” Nadia berbicara sendiri. Hafidzpun tidak bisa menolak ajakannya. Karena memang baru memiliki waktu luang, merekapun belajar bersama dengan beberapa temannya yang memiliki hobby sama, menyanyi. Sebuah lagu barat untuk melatih pronounciation
dipelajari di siang itu, lagunya berjudul “Boulevard.” Segera Nadia membuka sebuah buku dan menuliskan kata-kata ataupun syair lagu tersebut. Hafidz yang mengucapkan, sedang Nadia menuliskannya di buku agar tidak lupa. Kala itu belum ada hape ataupun youtube yang bisa dibuka dimanapun dan kapanpun. Masih jadul.
Sesekali Hafidz menengok tulisan di buku Nadia, walau suka Bahasa Inggris tapi sekali lagi Nadia belum lincah berbahasa Inggris. Rumusnya hanya suka dan suka. Syair lagu meluncur cepat dari bibir Hafidz...
I don’t know why. You said goodbye.
Just let me know you didn’t go forever my love
Please tell me why, you make me cry
I beg you please all memory, if that what you want me too...
Semuanya memang sudah berlalu, seiring perjalanan waktu. Kenangan di siang itu tidak mungkin terlupakan. Hafidz  benar-benar telah mengucapkan kata berpisah untuk selamanya, meninggalkan Nadia, sahabatnya, teman, handai taulan, sanak saudara dan semuanya yang ada di dunia ini.

Terimakasih banyak sahabat, telah banyak membantu belajar dan belajar tentang berbagai hal. Akhirnya, Selamat tinggal sahabat baik. Semoga mendapat tempat yang layak disisi-Nya, Allah SWT.  Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa'fuanhu.

Posting Komentar

  1. Ceritanya sangat menginpirasi bu

    BalasHapus
  2. Ceritanya sangat menginpirasi bu

    BalasHapus
  3. Kullu nafsin dzaaiqotul maut
    Setiap yg bernyawa, pasti akan mati. Mari bersiap-siap. Sebelum mati menghampiri

    BalasHapus

 
Top