”Lihat!
Ada berita panas! Seorang dosen tersengat listrik sampai tewas!” Bu Endah,
seorang Kepala Sekolah yang terkenal cantik dan ramah mengulurkan koran pada
beberapa guru yang tengah menikmati waktu istirahat di ruang guru dengan
berapi-api. Mereka, para guru berebutan ingin membaca yang pertama kali.
Sementara
itu, Bu Nadia baru saja selesai menunaikan shalat Dhuha
di Musholla. Bu Nadia melangkahkan kaki menuju
ruang kerjanya. Bu Nadia melihat beberapa teman yang sedang
asik berbincang tentang berbagai hal serta beberapa yang lain
bergiliran membaca koran.
“Bu Nadia, kau kenal dengan Bapak Hafidz,
yang seorang dosen di Salatiga ?” Bu Endah menepuk bahu kirinya dengan lembut, namun ucapan
dan tepukannya barusan sempat mengagetkanya. Bu Nadia tahu, pasti Bu Kepala
Sekolah ini sedang tidak main-main. Wajahnya serius, hidung bangir dan kulit
putihnya sungguh aduhai. Namun tegas bila bertutur kata. beliau juga
terkenal pemurah, senang memberi pada sesama. Seketika itu juga, Nadia jadi teringat salah satu sahabat baiknya saat
masih kuliah dulu.
Hafidz. Kenangan indah masa kuliah tahun 1900-an silam menari-menari di pelupuk
matanya.
“Ya, Bu, saya kenal baik dengan beliau, memangnya ada apa Bu?”
“Baca sendiri berita di koran hari ini!” dengan langkah
seribu, Bu Endahpun berlalu dari pandangan untuk melakukan agenda kerja
lainnya.
“Ya, Ibu, terimakasih banyak informasinya,” jawab Bu
Nadia. Bu Nadia
jadi penasaran. Sebenarnya ada apa yang terjadi dengan Hafidz. Dia memang
sahabat baiknya. Namun sudah puluhan tahun berlalu tidak pernah bertemu.
Segera
koran diraihnya, dicarinya head
news agar cepat pada sasaran
bacanya. Nadia sungguh kaget.
Rasanya baru kemarin dia duduk berdampingan di acara wisuda. Senyuman
sahabatnya mengembang manis, senyuman khas seorang Hafidz yang cuek,
ganteng, cool dan pintar. Dia adalah wisudawan
terbaik seangkatannya dulu, 15 April 1995 silam.
“Ya Allah... Inna lillahi wa innaa
ilaihi roojiuun.” Bu Nadia masih terus memegangi koran tersebut,
ada butiran-butiran lembut yang keluar dari kelopak matanya. Butiran lembut yang mengalir tanpa diberi aba. Reflek… apa adanya…
”Siapa yang meninggal, Bu?”
“ Dia… dia… sahabat baikku!”
“Sahabat
atau pacar? Mosok sahabat saja sampai menangis gitu?” gurauan
teman-temannya masih jelas terngiang di gendang telinganya. Gurauan
teman-temannya di tahun 2006 silam. Mereka terus aja meledeknya dan bicara
lepas tanpa beban. Nadia menjawab dengan sedikit nada sumbang.
“Dia
itu benar sahabatku, sahabat karibku dulu. Sahabat istimewa yang luar biasa
talentanya.
Otak
Bu Nadia berputar-putar seperti gangsingan tanpa kendali, mengapa hal ini bisa
terjadi di saat karirnya menanjak? Bayangan Hafidz masih terlintas jelas di
memorinya. Senyumannya, tatapan matanya,
gaya penampilannya dan gaya bicaranya. Semua begitu jelas di pelupuk
matanya. Incredible but fact. Aneh
tapi nyata.
Ahh...
mengapa saya melamunkannya, gumamnya.
“Benarkah ini sahabatku, sahabat
baikku? Sahabat tempat aku berbagi ilmu?” Bu Nadia berbicara sendiri. Beberapa
pertanyaan bergejolak di dada Bu Nadia. Rasanya tidak percaya, tapi nyata
adanya. Untuk meyakinkan kebenaran. Bu
Nadia berulang kali membaca koran tersebut dan ternyata benar, dia memang
sahabatnya, sahabat karibnya. Judulnya jelas sekali, “Hafidz Meninggal Dunia
Karena Aliran Listrik.”
Hati Nadia bergetar, teriris-iris, sakit, ada rasa kehilangan yang
mendalam. Maklumlah sahabatnya tadi adalah teman sekelas, teman belajar, teman
organisasi, teman dalam suka dan duka.
Dia
teringat seorang sosok teman yang begitu popular seangkatannya kuliah dulu.
Seorang sosok yang terkesan cuek bebek namun memiliki talenta Bahasa Arab dan
Bahasa Inggris yang luar biasa. Itulah stempel yang melekat
padanya. Walau sebenarnya dia mau berbagi dan memberi apa yang dia punya.
Kenangan pada sahabatnya puluhan tahun silam sempat muncul di memorinya.
Mereka memang tidak pernah berkomunikasi sejak wisuda sampai dengan siang
itu. Hanya sekali bertemu di kampus, ketika Bu Nadia legalisir Ijazah di
kampusnya untuk kepentingan Penerimaan Calon Pegawai Negeri ( CPNS). Mereka
memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Bu Nadia langsung berumah tangga dan sibuk
dengan urusan rumah tangganya. Sedangkan
Hafidz diberi kesempatan untuk mengajar di almameternya karena prestasi yang
diraihnya dan studi lanjut, yang tentunya sudah sibuk luar biasa.
Siapa yang tidak kenal dengan Hafidz? Semua mahasiswa seangkatannya pasti mengenalnya. Jarang
mahasiswa yang memiliki talenta di bidang bahasa. Siapapun pasti salut
dan kagum padanya. Secepat itukah dia meninggalkan dunia yang fana ini? Dus, sungguh tragis sekali!
Siapa yang menyangka seorang bintang kampus meninggal dunia dengan cara yang
mengejutkan, tersengat aliran listrik. Saat kejadian, tidak seorangpun berani
memberikan pertolongan sebab takut tersengat juga, hingga akhirnya
tubuhnya terbakar dan jiwanya melayang. Gosong dan hitam!
Semua memang misteri. Tidak seorangpun
yang tahu kapan maut akan menjemput. Sekali lagi Bu Nadia mengucapkan kalimat
tarji’ Inna lillaahi wa innaa
ilaihi roojiuun. Sesungguhnya
semuanya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Bahkan yang lebih
tragis, di akhir hayatnya, dia belum sempat menikah dengan kekasihnya yang
telah dirajutnya bertahun-tahun. Entah apa yang dicarinya selama ini.
Banyak orang terbengong-bengong dengan pilihan hidupnya. Semuanya dia punya, wajah
yang tampan, otak yang brilian, kekasih yang cantik, karir yang menanjak. Tak terasa koran digenggam
Bu Nadia terjatuh ke lantai. Dia baru tersadar, bahwa dirinya terlalu jauh
mengenal Hafidz.
Hafidz oh Hafidz, Kau sungguh malang
***
Tahun
1990-an. Bu Nadia jadi teringat masa-masa indah di kampus
tercinta.
Hari itu nampak begitu cerah. Sang surya bersinar terang. Awan putih berarak berkejar-kejaran di langit biru, tanpa adanya kabut hitam yang
menyelimutinya. Harum bunga nan asri berbaris rapi di
sepanjang kampus menambah indahnya panorama siang itu. Makrus, salah satu teman
yang terkenal sebagai mahasiswa vokal dan berkulit hitam kerempeng
berbicara dengan nada lantang.
“ Horee! Horee.... Saudara saudara sekalian, karena Pak Dosen ada tugas
mendadak, Acara perkuliahan hari ini kosong!”
Sontak kata-katanya menimbulkan
komentar yang bervariasi dari mahasiswa yang sejak sejam lalu menunggu
perpindahan jadwal kuliah. Ada yang menggerutu dengan nada-nada kecewa, namun
ada juga yang senang sebab, hari itu terbebas dari mata kuliah Bahasa
Inggris. Walau di mata mahasiswa,
sang dosen bukan kriteria seorang dosen yang killer, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa sebagian mahasiswa kurang menyukai mata kuliah yang diampunya.
Para mahasiswa yang sedang menunggu
kehadiran sang dosen segera
bergegas menghamburkan diri. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada
yang asyik mengobrol kesana kemari dengan topik yang beraneka ragam. Ada yang
menuju ruang perpustakaan untuk mencari referensi, membaca dan meminjam buku
serta mengembalikan buku. Ada yang mengerjakan tugas kelompok dan ada pula yang mengadakan kajian bersama.
Nadia, salah satu mahasiswi di kampus itu,
segera bergegas mencari sahabat karibnya yang klik tentang mata kuliah yang
kosong tersebut. Kecewa juga sih, walau kurang menguasai
dengan baik, ternyata rasa suka menimbulkan minat untuk mempelajarinya lebih
jauh. Tidak heran ia berkumpul dengan teman-teman yang memiliki interest yang sama di bidang tersebut di sebuah
organisasi.
Disanalah dia menimba banyak ilmu yang tidak
didapatinya dari para dosen. Sahabatnya yang berpenampilan parlente itu adalah Hafihz. Dia alumni dari Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Sebuah
pesantren modern yang sangat terkenal untuk level Asia Tenggara. Tidak heran
jika banyak teman yang menyukainya untuk berteman dan bersahabat dengannya.
Enak memang, walau cuek dan acuh tak acuh kesan darinya, namun apabila
bisa mengambil hatinya, dia akan senang membantu dan berbagi berbagai.
“Hai Hafihz, kita belajar menyanyi aja
yook!” Hafihz yang selalu cuek bebek itu hanya terdiam. Hafidz yang saat itu membawa
gitar hanya terdiam terpaku. Tatapannya kosong. Mungkin baru ada something
wrong dengan kekasih
hatinya.Wajahnya bersungut-sungut. Tatanan rambutnya awut-awutan dan kepulan
rokok berjalan liar ke atas meliuk-liuk seperti ular naga.
“Oke, diam itu berarti setuju lho!” Nadia berbicara sendiri. Hafidzpun tidak
bisa menolak ajakannya. Karena memang baru memiliki waktu luang, merekapun
belajar bersama dengan beberapa temannya yang memiliki hobby sama, menyanyi.
Sebuah lagu barat untuk melatih pronounciation
dipelajari di siang itu, lagunya berjudul “Boulevard.” Segera
Nadia membuka sebuah buku dan menuliskan kata-kata ataupun syair lagu tersebut.
Hafidz yang mengucapkan, sedang Nadia menuliskannya di buku agar tidak lupa. Kala itu belum ada hape
ataupun youtube yang bisa dibuka dimanapun dan kapanpun. Masih jadul.
Sesekali Hafidz menengok tulisan di buku
Nadia, walau suka Bahasa Inggris tapi sekali lagi Nadia belum lincah berbahasa
Inggris. Rumusnya hanya suka dan suka. Syair lagu meluncur cepat dari bibir
Hafidz...
I don’t know why. You said goodbye.
Just let me know you didn’t go forever my
love
Please tell me why, you make me cry
I beg you please all memory, if that what you
want me too...
Semuanya memang sudah berlalu, seiring
perjalanan waktu. Kenangan di siang itu tidak mungkin terlupakan. Hafidz benar-benar telah mengucapkan kata berpisah untuk selamanya,
meninggalkan Nadia, sahabatnya, teman,
handai taulan, sanak saudara dan semuanya yang ada di dunia ini.
Terimakasih banyak sahabat, telah banyak
membantu belajar dan belajar tentang berbagai hal. Akhirnya, Selamat tinggal sahabat baik. Semoga
mendapat tempat yang layak disisi-Nya, Allah SWT. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa'fuanhu.
Ceritanya sangat menginpirasi bu
BalasHapusCeritanya sangat menginpirasi bu
BalasHapusKullu nafsin dzaaiqotul maut
BalasHapusSetiap yg bernyawa, pasti akan mati. Mari bersiap-siap. Sebelum mati menghampiri